Namun, secara psikologis apa yang terjadi tadi sangatlah menoreh luka yang teramat dalam. Banyak pertanyaan yang tentunya muncul, mengapa hal tersebut bisa terjadi? Mengapa?Â
Ini menjadi catatan sangat hitam bagi perjalanan KPK maupun pemberantasan korupsi negeri ini. KPK yang identik dengan diksi integritas dan moral, seakan menjadi terhempas pada titik nadir perilaku. Sehingga menjadi sebuah kontraproduktif dari kerangka dasar perilaku pemberantas korupsi.
Memang Pegawai KPK bukan manusia tanpa bisa menafikan sebuah kesalahan, namun bila kesalahan tadi merupakan kebalikan dari nilai jual yang seharusnya, menjadi bertentangan dengan standar perilaku yang seharusnya dilakukan. Oleh karenanya, menjadi sebuah ironi dan sangat diperlukan sosok yang "tidak biasa-biasa saja", guna mengembalikan ruh dan kepercayaan.
Sosok yang tidak biasa-biasa saja tadi, idealnya sebagai berikut:
Pertama, menakhodai lembaga pemberantas korupsi harus sudah selesai dengan urusannya sendiri. Ia tidak boleh lagi "melirik" akan kebutuhan hidup, materialistis apalagi hedonism.
Kedua, mempunyai sikap "zero-tolerance" pada siapapun yang mempunyai indikasi melakukan korupsi. Tidak lagi memandang lembaga Negara mana, apa jabatan dan sebagainya.Â
Karena negara telah memberikan amanat berupa UU Nomor 19/2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yang menjadi pembeda dalam hal pemberian kewenangan untuk memberantas korupsi dibandingkan dengan dua koleganya yaitu Kejaksaan dan Kepolisian.Â
Meskipun pada UU 19/2019 tadi, KPK sudah satu rumpun eksekutif dengan dua koleganya tadi, masih ada beberapa poin pasal yang memberikan delegasi kewenangan yang tidak dimiliki penegak hukum korupsi lainnya. Ini menjadi pelecut, KPK harus "memihak" pada prinsip keadilan, dengan tidak ada kompromi.
Ketiga, meskipun sifat kepemimpinan di lembaga KPK adalah kolektif kolegial, keberadaan Ketua KPK menjadi titik sentral dan bisa memberikan warna bagi berjalannya organisasi.Â
Sangat dibutuhkan energi kepemimpinan, sehingga bisa mengoptimalkan operasional pemberantasan korupsi yang pada tataran pelaksana memang sudah berjalan selama ini.Â
Potensi pada tataran pelaksana ini, tinggal diback-up, tanpa perlu lagi didorong-dorong. Justru sebaliknya, yang dibutuhkan adalah penguatan dari unsur pimpinan KPK, ketika pada sebuah proses pengungkapan sebuah perkara berjalan menemui hambatan-hambatan.Â