Kenapa sih tidak ditetapkan sebagai tersangka? Menjadi anti klimaks saja jadinya. Media yang sangat antusias dalam pemberitaan, sampai-sampai meminta pendapat pihak-pihak di luar baik yang menangani maupun yang diduga terlibat. Jadi muncullah beragam warna pendapat tadi.
Prolog ini wajar, ketika yang ditunggu-ditunggu, terkait dengan penetapan tersangka dalam sebuah peristiwa yang menyedot perhatian publik tak kunjung dilakukan. Terlebih pada peristiwa korupsi yang melibatkan pejabat publik, tokoh masyarakat atau orang terkenal lainnya.Â
Padahal di awal perkara terblow up, seolah menunjukkan eskalasi kegiatan yang masif dan seolah mengejar headline. Timeline hari per hari, seolah sudah terpapar, sehingga ketika timeline terlalui, tinggal finishing dalam penetapan tersangka. Tapi nyata? Mari kita kulik bersama.
Bahwa Pasal 1 angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyebutkan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Dengan demikian, sejatinya, bila sudah terkumpul minimal 2 (dua) alat bukti yang sah dan bisa ditarik benang merahnya, terdapat kausalitas terhadap dugaan tindak pidana yang menjadi objek penyidikan tadi, maka kelanjutannya tiada lain dan tidak bukan adalah menetapkan tersangkanya. Sebuah alur yang logis dan memenuhi asas hukum yang ada.
Namun pada kenyataannya, ada saja yang menjadikan momentum penetapan tersangka tersebut menjadi terulur-ulur, seolah ada hambatan yang tiba-tiba muncul.Â
Pertanyaannya adalah mengapa bisa demikian? Bukankah semakin lama dalam penetapan itu, semakin kuat dugaan bahwa ada "sesuatu" yang terjadi dan itu bukan dalam konstruksi hukum atas perkara tadi?
Akan mudah menebak dan asumsi yang akan muncul terkait hal tersebut, analisisnya yaitu:
Pertama, dugaan bahwa ada pihak-pihak yang mencoba memengaruhi proses penetapan tersangka. Walaupun hal ini sangat kasuistis dan tendensius siapa yang mencoba memengaruhinya. Bisa dari pihak calon tersangka, atau pihak lain yang sudah "bisa meraba" ke mana arah perkembangan perkara selanjutnya bila ditetapkan tersangka.Â
Dengan bahasa lain, mereka yang "bisa meraba" tadi, sejatinya bagian dari keseluruhan konspirasi tindak pidana yang terjadi. Hanya saja, mereka belum "tersentuh" dan baru akan tersentuh setelah penetapan tersangka tadi. Sehingga sebelum itu terjadi, maka segala upaya dilakukan, agar perkara "terlokalisir" tidak merambah ke mana-mana.
Kedua, bisa jadi ada konflik kepentingan dari internal aparat penegak hukum itu sendiri. Meski awalnya mulus-mulus saja, namun pada perjalanannya kepentingan tadi menjadi muncul atau menyeruak ke permukaan justru pada akhir-akhir akan dilakukan penetapan.Â
Sehingga, muncul persepsi publik, seolah ada jurus yang digunakan untuk mengulur waktu, hingga bisa ditemukan win-win solution (kompromi?), bila ini terjadi sungguh sebuah abuse of power atau tetap berada jalur hukum yang pure atau murni pada due process of law-proses hukum yang semestinya.
Persepsi tadi, dalam proses tindak pidana umum mungkin saja terjadi karena penerapan restorative justice. Namun untuk perkara korupsi, sangat tidak boleh terjadi. Meskipun misalnya sudah ada pengembalian keuangan negara. Pengembalian keuangan negara menjadi sebuah itikad baik dari para pihak, namun tidak menghapuskan pidananya.
Ketiga, ditemukan fakta hukum adanya tindak pidana baru, dugaan awal justru lemah dalam pembuktian. Sehingga butuh waktu untuk persamaan persepsi dengan penuntut umum, melalui forum diskusi, rapat dengar pendapat ataupun ekspose.Â
Gambaran mudahnya adalah awalnya hanya pasal A dan B yang digunakan untuk menjadi dasar penyidikan perkara, namun dalam perjalanannya justru yang menguat untuk pembuktian adalah adanya irisan dengan dugaan tindak pidana C dan D.Â
Pada posisi yang demikian, akhirnya memunculkan masalah baru yang akan membutuhkan waktu, misalnya penyusunan kembali konstruksi perkara, saksi-saksi diperiksa berulang untuk penguatan pembuktian keterangan, sinkronisasi dengan bukti-bukti yang baru.Â
Semua ini membutuhkan waktu. Karena inilah, yang nampak di luar, proses seolah diulur-ulur dan muncul asumsi ini dan itu.
Begitulah.
Salam Anti Korupsi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H