Kedua, bisa jadi ada konflik kepentingan dari internal aparat penegak hukum itu sendiri. Meski awalnya mulus-mulus saja, namun pada perjalanannya kepentingan tadi menjadi muncul atau menyeruak ke permukaan justru pada akhir-akhir akan dilakukan penetapan.Â
Sehingga, muncul persepsi publik, seolah ada jurus yang digunakan untuk mengulur waktu, hingga bisa ditemukan win-win solution (kompromi?), bila ini terjadi sungguh sebuah abuse of power atau tetap berada jalur hukum yang pure atau murni pada due process of law-proses hukum yang semestinya.
Persepsi tadi, dalam proses tindak pidana umum mungkin saja terjadi karena penerapan restorative justice. Namun untuk perkara korupsi, sangat tidak boleh terjadi. Meskipun misalnya sudah ada pengembalian keuangan negara. Pengembalian keuangan negara menjadi sebuah itikad baik dari para pihak, namun tidak menghapuskan pidananya.
Ketiga, ditemukan fakta hukum adanya tindak pidana baru, dugaan awal justru lemah dalam pembuktian. Sehingga butuh waktu untuk persamaan persepsi dengan penuntut umum, melalui forum diskusi, rapat dengar pendapat ataupun ekspose.Â
Gambaran mudahnya adalah awalnya hanya pasal A dan B yang digunakan untuk menjadi dasar penyidikan perkara, namun dalam perjalanannya justru yang menguat untuk pembuktian adalah adanya irisan dengan dugaan tindak pidana C dan D.Â
Pada posisi yang demikian, akhirnya memunculkan masalah baru yang akan membutuhkan waktu, misalnya penyusunan kembali konstruksi perkara, saksi-saksi diperiksa berulang untuk penguatan pembuktian keterangan, sinkronisasi dengan bukti-bukti yang baru.Â
Semua ini membutuhkan waktu. Karena inilah, yang nampak di luar, proses seolah diulur-ulur dan muncul asumsi ini dan itu.
Begitulah.
Salam Anti Korupsi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H