Kegalauan dan keresahan atas korupsi yang terjadi di negeri ini, seolah belum berada pada titik ujungnya. Masih saja kasus korupsi menjadi hiasan media dan bahkan muncul skeptisme dalam satire: yang ketangkap kasus korupsi, hanya apes saja, yang lainnya masih aman-aman saja.
Seolah fenomena Gunung es benar adanya. Mereka yang tertangkap tergambar sebagai puncak Gunung, sedang yang dibawah permukaan lebih besar dan tidak nampak.
Salah satu pejabat yang sampai hari ini masih getol untuk memerangi korupsi yaitu Mahfud MD, Menkopolhukam. Ide-idenya dalam pemberantasan korupsi yang masih ditunggu realisasinya, karena melibatkan legislator mengesahkannya adalah UU Perampasan Aset.Â
Terkini, dalam sebuah forum, yang saya kutip dari Kompas.com menyebutkan pentingnya pembuktian terbalik dibuat undang-undang tersendiri.
Menurut Mahfud, masih ada celah bagi penjabat untuk tidak melaporkan harta kekayaannya secara jujur meskipun sudah diatur kewajiban melaporkan hartai melalui Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN).
Masuk akal dan sangat logis keinginan Mahfud MD tersebut, sebab menjadi fakta yang tidak terabaikan bahwa meskipun pembuktian terbalik dalam hukum positif kita sudah tertuang di dalam sebuah pasal UU Tindak Pidana Korupsi, namun dinilai kurang efektif. Dengan spesifikasi dan kekhususan UU tersendiri, pembuktian terbalik bisa menjadi momok para koruptor.
Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu:
1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.
2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya.
3) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan.