Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismillah, Menulis Seputar Hukum dan Korupsi

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Teladan di Hadapan Hukum, Memang Seharusnya!

7 November 2023   10:24 Diperbarui: 10 November 2023   14:46 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi penegakan hukum. (KOMPAS/JITET)

Di salah satu sudut Jalan Malioboro Jogjakarta, ada patung menyerupai tokoh superhero Spiderman yang tengah dikerok oleh salah satu tokoh punakawan, Petruk. 

Terilustrasi patung menyerupai tokoh Spiderman masuk angin, sehingga dengan dikerok oleh Petruk, bisa sembuh dan kembali menjadi superhero, bergelantungan dari satu gedung pencakar langit ke gedung lainya, membela kebenaran. 

Foto Dokumen Pribadi
Foto Dokumen Pribadi

Pada titik tertentu, bisa jadi memandang itu sebagai sebuah satire atas kondisi yang tidak berjalan biasa-biasa saja, atau tidak baik-baik saja. Kias masuk angin, lebih pada gambaran "ada yang tidak beres" pada tubuh, sehingga bagi kalangan tertentu, dikerok menjadi salah satu solusinya. 

Demikian halnya, proses penegakan hukum, yang diasumsikan tidak on the track, sering dikiaskan sedang kena masuk angin. Sehingga, perlu dipicu semangatnya, agar penegak hukum kembali masuk ke rel-nya dan kembali bergerak.

Pada titik lain, saya membayangkan, alangkah indahnya menonton sebuah orchestra penegakan hukum di negeri ini dengan penghormatan pada norma-norma hukum yang ada. Karena, bagaimanapun, hukum sudah disepakati kita bersama sebagai salah satu pranata dalam kehidupan berbangsa dan negara. Sehingga penghormatan atas norma-norma hukum ini, menjamin rasa keadilan, bukan ketimpangan dan melahirkan sikap skeptis.

Orchestra penegakan hukum yang ada di depan kita saat ini, memberikan sebuah sajian yang kurang elok dan tidak nyaman di mata. Bagaimana tidak? Publik kadang disajikan oleh penundaan atas pemanggilan tokoh masyarakat atau publik figure pada penegak hukum.

Padahal, jelas kapasitasnya adalah sebagai saksi. Ironisnya, sang penunda panggilan untuk dimintai keterangan tadi, dengan alasan yang "sangat" tidak elok ditunjukkan oleh seorang public figure. Bagaimana bila ia sudah sebagai tersangka? Jangan-jangan pakai jurus ampuh lainnya? Yaitu langkah seribu?

Bayangkan, ketidakhadiran tadi bukan sebagai alasan yang patut dan wajar ketika disandingkan dengan pentingnya pemenuhan seseorang sebagai saksi. 

Jelas, dalam kedudukan hukum, memenuhi panggilan sebagai saksi tadi akan membantu proses percepatan dan semakin terangnya sebuah perkara pidana. Itu harus tertunda hanya untuk menghadiri sebuah acara seremonial apapun bentuknya.

Konsep berpikir atas penghargaan pada hukum, bila menjadi sebuah komitmen berbangsa dan menjadi parameter penghormatan atas hukum adalah kehadiran saksi untuk memberikan keterangan, jelas-jelas tidak bisa diwakilkan, karena memang ia yang mengetahui, ia yang mendengar atau ia yang mengetahuinya. Sedangkan acara yang bersifat seremonial, sekali lagi, sangat memungkinkan adanya pendelegasian.

Memang ada perangkat hukum untuk memaksa mereka yang suka menunda mendatangi panggilan. Jika seseorang tidak hadir sesuai waktu yang ditetapkan dalam surat panggilan, maka penyidik akan menerbitkan surat panggilan kedua. 

Apabila tanpa alasan yang patut dan wajar, pihak yang dipanggil tidak memenuhi surat panggilan kedua, maka penyidik dapat menerbitkan Surat Perintah Membawa bagi pihak yang dipanggil tersebut.

Bila ada kesengajaan untuk tidak memenuhi panggilan yang sah, maka sebagaimana disebutkan dalam Pasal 224 KUHAP sebagai berikut:

"Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam: dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama 9 bulan; dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama 6 bulan."

Rasa-rasanya akan menjadi sebuah pemandangan dan tontonan yang tidak bisa dijadikan tuntunan, apabila ada pejabat, public figure ataupun orang-orang terkenal di masyarakat, yang dengan mudahnya membuat alasan untuk ngeles memenuhi panggilan. 

Kontraproduktif dengan semangat penghargaan akan hukum di negeri ini. Apalagi bila sampai penegak hukum "membawa paksa", lengkaplah sudah, pemandangan yang sangat tidak elok dilihat.

Celah hukum bahwa bisa saja tidak memenuhi panggilan yang pertama, namun dari situ sudah bisa terbaca bagaimana itikad baik dan penghargaan pada hukum. Ini yang substansi dari seorang yang menjadi panutan di masyarakat.

Jangan menjadi preseden buruk dan asumsi negatif menjadi isu ketidakpatuhan pada hukum, sehingga akan menurunkan kepercayaan (trust) pada proses hukum itu sendiri.

Saya membayangkan sebagai berikut:

Seorang pejabat, sangat terkenal di negeri sana, ia sangat berapi-api ketika berbicara tentang proses dan penegakan hukum. "Jadilah teladan, jadilah panutan, agar hukum dipercaya sebagai panglima di negeri kita." Begitu sering ia tampil di media. Sampai pada suatu ketika, ia diduga tersandung sebuah perkara.

Ia pun tidak gentar: "Saya menerima panggilan untuk diminta keterangan sebagai saksi. Pada jadwal panggilan, saya ada jadwal untuk hearing di parlemen. Tapi saya pilih untuk memenuhi panggilan penegak hukum."

Begitu semangat ia menyampaikan di media. Publik yang mengikuti pemberitaan, tentunya mengapresiasi positif dan bangga dengan "bapak itu." Sebuah keteladanan yang memang seharusnya dilakukan. Mengapa?

Pertama, dengan mengedepankan atau memprioritaskan panggilan sebagai saksi, menunjukkan bahwa ia sebagai tokoh yang patuh hukum, ia mengesampingkan alternatif tidak memenuhi panggilan penegak hukum, walaupun ia bisa saja meminta penundaan. 

Tapi baginya, penundaan berarti menunda-nunda klarifikasi keterlibatan dirinya dalam perkara. Ia tidak ingin publik berandai-andai ihwal posisi dalam perkara tersebut. Ia pada posisi -- afgirmantis est probare -- orang yang mengiyakan harus membuktikan.

Kedua, ia ingin menunjukkan mempercepat pemberian kesaksian, sama dengan membantu dirinya untuk menunjukkan kepastian hukum dirinya. Bila memang sebatas saksi, cepat bersih namanya. 

Bilapun, ia "sebenarnya" tersangka, ia tidak akan dibuat malu untuk kedua kalinya. Sebab, menunda-nunda pemanggilan dan di belakang hari ternyata ia-lah tersangkanya, hancurlah berkeping nama baiknya. Di samping sebutan sebagai tersangka, ia juga akan dikenal sebagai pembohong.

Sebaliknya dengan bergegas memenuhi panggilan dan proses hukum yang ada, minimal ia bisa menunjukkan ia-lah ksatria. Bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan, bukan bermain petak umpet dengan banyak alasan.

Mungkin ini halusinasi saya? Semoga tidak, negeri ini masih banyak tokoh masyarakat atau public figure yang menjadi teladan dalam kepatuhannya pada hukum.

Salam Anti Korupsi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun