Dalam ilmu hukum dikenal adanya asas litis finiri oportet, yang artinya setiap perkara harus ada akhirnya.Â
Maka, bila ada perkara tindak pidana, dalam konteks artikel ini adalah tindak pidana korupsi, berujung pada pemeriksaan di persidangan, kemudian putusan hakim serta putusan tadi diterima oleh terdakwa, maka akan berkekuatan hukum tetap.Â
Meski pada sisi lain, atas putusan pengadilan tingkat pertama, bisa diupayakan untuk meninjau ulang putusan tersebut pada pengadilan yang lebih tinggi.
Namun, ada satu tahapan yang menurut saya sangat krusial, dalam arti krusial untuk pihak yang paling berkepentingan pada perkara tadi. Siapa? Tiada lain adalah tersangka.Â
Penentuan status tersangka, menjadi momen yang sangat "tidak mengenakan" dan "sangat mendebarkan." Lebih-lebih, bila ia adalah seorang tokoh kesohor alias publik figur.
Adanya jeda pada tahapan krusial tadi, menjadi momentum untuk tepat dalam bertindak bagi aparat penegak hukum (APH) yang menangani perkara tersebut. Beberapa tersangka "mendadak kabur" seperti hilang di telan bumi.
Ini yang tidak boleh terjadi dan bisa menghambat tuntasnya sebuah perkara, sebagaimana tuntutan asas hukum tadi. Perkara akan menjadi tergantung dan tidak memberikan kepastian hukum para pihak yang terkait.
Dalam konteks tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih memiliki pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pada 2023 ini. Salah satunya, utang menyeret para buronan kasus korupsi di tahun-tahun sebelumnya.Â
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyebut pihaknya berhasil menangkap 16 dari 21 orang yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Dengan begitu, KPK masih memiliki lima buronan lagi.
Dari DPO KPK sejumlah 21 orang, telah tertangkap sebanyak 16 orang, dan masih dalam pencarian sejumlah 5 orang, dikutip dari liputan6.com
Apakah ada perangkat untuk meredam atau mengeliminir seseorang yang "berpotensi-tersangka" tidak melarikan diri hingga kemudian menjadi Daftar Pencarian Orang (DPO)? Dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, sebelum penetapan tersangka, penyidik dipastikan sudah mempunyai dan memetakan siapa para pihak yang berpotensi menjadi tersangka.Â
Apakah tersangka yang sudah "dibidik-dari awal" atau tersangka hasil pengembangan perkara. Sehingga harus ada kekhawatiran terhadap profil tersangka tertentu, misalnya akan melarikan diri ke luar negeri.Â
Sehingga sebagaimana diberikan wewenang pada Pasal 12 UU No 19/2019 tentang KPK Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri.
Kedua, momentum ketika akan dilakukan penetapan sebagai tersangka, tidak boleh berlarut-marut alias berlama-lama, karena akan membuka peluang calon tersangka berpikir untuk menghindari tanggung jawab hukum dengan cara melarikan diri.Â
Maka, sebelum itu terjadi dengan mempertimbangkan rentang waktu seefektif mungkin, setelah ditemukan minimal 2 (dua) alat buah yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP, pada kondisi subyektif, perlu dilakukan penahanan.Â
Awalnya, seseorang, apalagi publik figure, bisa jadi berperilaku santun dan hormat pada proses hukum, namun ketika detik-detik penetapan tersangka atau setelah ditetapkan sebagai tersangka namun tidak segera dilakukan penahanan, pikiran bisa berubah dan nekat untuk kabur.
Ketiga, pemberdayaan fungsi intelijen untuk selalu memantau pergerakan "calon tersangka" yang berpotensi kabur. Fungsi ini tidak semata dilakukan oleh badan intelijen, namun yang utama tindakan pemantauan atas aktivitas calon tersangka tadi.
Keempat, bisa dipastikan, melarikan diri atau kabur, entah ke luar negeri ataupun di dalam negeri, akan melibatkan orang-orang terdekat. Sehingga terhadap pihak-pihak yang membantu proses melarikan diri ini, bila suatu saat ditangkap, harus diproses hukum sebagai pelajaran dan shock therapy pihak manapun yang membantu.Â
Jangan sampai menjadi preseden buruk. Seolah membantu melarikan diri seseorang yang ingin lepas dari tanggung jawab pidana, tidak tersentuh oleh aturan hukum.
Bagaimana dengan Harun Masiku, misalnya?Â
Salah satu buron yang paling dicari KPK saat ini. Seolah tabir persembunyian diketahui oleh KPK, dan KPK dituduh menyembunyikan. Tuduhan ini sebagai hal yang kontraproduktif atas kesungguhan KPK untuk menangkap Harun Masiku. Tidak ada kepentingan apapun, kecuali kepentingan penegakan hukum.
(baca terkait Harun Masiku: Harun Masiku dan Kotak Pandora)
Sebagaimana dikutip dari republika.co.id: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan bakal menindaklanjuti informasi keberadaan buronan Harun Masiku di Indonesia.Â
Pencarian terhadap penyuap mantan wakil ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan, ini akan dilakukan secara serius. Sebagaimana disampaikan Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri beberapa saat yang lalu.
Kembali pada prolog artikel ini, setiap perkara harus ada akhirnya, bila tidak akan menjadi pekerjaan rumah dan memberikan beban serta tanggung jawab moral aparat penegak hukum. Â
Menuntaskan setiap perkara tak terkecuali bisa menghadapi hambatan yang salah satunya adalah bagaimana mengantisipasi, mendeteksi sejak dini, bahwa seseorang yang terbidik sebagai tersangka, sudah dilakukan upaya pencegahnya. Sehingga tidak terjadi kecolongan, penetapan tersangka, namun yang bersangkutan sudah kabur, lenyap bagai ditelan bumi.
Salam Anti Korupsi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H