Muhaimin Iskandar atau Cak Imin telah selesai menjalani pemeriksaan sebagai saksi dalam kasus korupsi sistem proteksi TKI di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemnaker). "Hari ini saya membantu KPK menyelesaikan kasus korupsi di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi tahun 2012," kata Cak Imin.Â
Cak Imin diperiksa sebagai saksi dalam kasus korupsi di Kemnaker dalam kapasitasnya sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi periode 2009-2014. Korupsi sistem proteksi TKI di Kemenaker terjadi pada 2012. detik.com
Untuk kilas balik, KPK telah rampung memeriksa Anies terkait kasus dugaan rasuah dalam penyelenggaran Formula E pada Rabu (7/9/2022). "Alhamdulillah, hari ini diundang untuk membantu. Kami pun hadir untuk membantu menjalankan apa yang dibutuhkan oleh KPK," Anies mengatakan, ia sudah menyampaikan keterangan yang dibutuhkan penyelidik KPK untuk membantu proses penyelidikan kasus tersebut. Dia pun berharap, keterangan yang dia berikan dapat membantu kinerja KPK. Republika.co.id
Substansi prolog artikel, saya cuplikan dari dua media yang memberikan bagaimana kesan Cak Imin dan Anies Baswedan sesaat setelah diperiksa sebagai saksi dalam perkara yang berbeda dan waktu berbeda pula. Kalau Cak Imin memberikan dalam kapasitas sebagai saksi dugaan korupsi sistem proteksi TKI di Kemenaker terjadi pada 2012, kemaren. Sedang Anies Baswedan sekitar setahun yang lalu sebagai saksi dalam dugaan penyelenggaran Formula E. Substansi yang saya maksudkan adalah :
Pertama, setelah diperiksa dan memberikan keterangan pada awak pers yang memang sudah menunggu di lobby gedung KPK, ada diksi kalimat yang tidak berbeda, Cak Imin berkata : "Hari ini saya membantu KPK menyelesaikan kasus korupsi di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi tahun 2012. ", sedangkan Anies Baswedan : "hari ini diundang untuk membantu. Kami pun hadir untuk membantu menjalankan apa yang dibutuhkan oleh KPK. "
Keduanya menggunakan diksi kata " membantu. " Sebuah ungkapan kata yang menunjukan sebuah itikad baik dan berperan dalam membuat terang perkara. Hakikatnya, pemanggilan seseorang sebagai saksi atau sebagai tersangka, dalam proses penyidikan memang dalam rangka membuat terang benderang perkara sehingga bisa ditentukan siapa yang bisa dimintakan pertanggungjawaban pidananya atau dijadikan tersangka.
Siapapun, setiap warga Negara yang mendapat panggilan sebagai saksi, tidak perlu ada rasa takut, khawatir bahkan berusaha mencari alasan untuk menghindarinya, karena menjadi saksi tidak lebih dan tidak kurang hanya mengatakan apa yang ia dengar, ia lihat dan ia ketahui. Bila jawaban yang diberikan kepada penyidik, bisa dianggap memberikan keterangan yang tidak benar dan ini ada resiko hukumnya.
Kedua, terlepas dari penggunaan kata "membantu" KPK, memang dipanggil sebagai saksi menjadi sebuah momen seseorang untuk mememberikan penjelasan secara hukum, bagaimana posisi dirinya dalam sebuah perkara. Bisa jadi, ia menjadi bagian kronologis sebuah kejadian, namun bukan berarti ia bagian dari pelaku atau tersangka. Seorang pejabat misalnya, dalam perkara korupsi di lingkungan jabatannya, bisa jadi, kesaksiannya dibutuhkan untuk menjelaskan bagaimana tugas pokok, peran, fungsi dan mekanisme atau Standar Operasional Prosedur. Sehingga, sangat mungkin Si Pejabat tadi tidak mengetahui bahwa dari bagian mekanisme atau SOP tadi, menjadi celah bawahannya untuk melakukan penyalahgunaan wewenang yang ia nikmati sendiri bersama koleganya, tanpa sama sekali melibatkan peran dari atasannya.
Selama ini, seolah terstigma pemeriksaan seseorang sebagai saksi, dalam konteks ini pejabat, akan secara otomatis menjadikannya sebagai tersangka. Walaupun dalam Pasal 55 dan 56 KUHP ada pengenaan pasal terkait dengan turut serta melakukan maupun perbantuan dalam suatu tindak pidana, tidak serta merta bila bawahan melakukan tindak pidana, atasan secara horizontal dimintakan pertanggungjawaban pidananya. Penyidik akan menggali dan memisahkan batas-batas tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab pidana melalui anasir perbuatan yang dibuktikan dengan minimal dua dari 5 alat bukti yang sah sebagai mana diatur dalam Pasal 184 KUHAP (Keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa).
Dalam konteks perkara yang melibatkan kesaksian Cak Imin, Kasus dugaan korupsi sistem proteksi TKI di Kemnaker yang diusut KPK ini terjadi pada tahun 2012 di mana Cak Imin saat itu menjabat sebagai Menakertrans. Lembaga antirasuah sudah menetapkan tiga orang sebagai tersangka dalam kasus ini. Mereka ialah Reyna Usman, mantan Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kemnaker (kini sebagai Wakil Ketua DPW PKB Bali); Sekretaris Badan Perencanaan dan Pengembangan Kemnaker I Nyoman Darmanta; dan Direktur PT Adi Inti Mandiri Karunia, dikutip cnnindonesia.com
Pertanyaan sekarang, akankah status Cak Imin ditingkatkan sebagai tersangka oleh KPK? Ini yang tentunya sangat ditunggu oleh publik, lebih-lebih pihak-pihak yang mengaitkan bahwa perkara ini sudah tidak murni lagi, karena "sangat bersentuhan dengan aroma politis". Sah-sah saja mengaitkan kedekatan momen penerbitan Surat Perintah Penyidikan dengan deklarasi Cak Imin sebagai Bacawapres. (Artikel saya sebelumnya : Status Penyidikan dan Deklarasi Bacawapres, sudah menjelaskan hal ini). Untuk menjawab pertanyaan tadi, tentu itu ranah penyidikan yang tidak mungkin diekspos, ikuti saja proses tersebut tanpa harus selalu berprasangka bahwa KPK tidak murni dalam penegakan hukum.
Saya ingin bertanya balik kepada pihak-pihak yang terus menyerang KPK seolah perkara ini tidak murni penegakan hukum dengan pertanyaan :
Pertama, secara umum, bukan menunjuk kasus tertentu, bila secara substansi memang sudah terpenuhi anasir dari unsur perbuatan pidana yang dilakukan seseorang, Â akankah perkaranya dibiarkan saja? Tetap ia melenggang dan tidak perlu dimintakan pertanggungjawaban pidananya?
Kedua, selama perkara tindak pidana tidak daluarsa penuntutannya, adakah yang salah dengan penyidik untuk tetap mengajukan perkara tersebut hingga memperoleh kepastian hukum? Bagaimana dengan tersangka lain yang sama-sama melakukan tindak pidana tadi sudah diproses hukum, sementara yang lainnya tidak tersentuh oleh hukum? Di mana rasa keadilannya?
Ketiga, dalam posisi perkara yang mengundang perhatian publik, aparat penegak hukum, dalam konteks yang berwenang menangani tindak pidana korupsi (KPK, Kejaksaan atau Kepolisian), menjadikan sebuah perkara dengan pola skala prioritas tentu menjadi sebuah pilihan, ketika memang banyak perkara yang harus ditangani. Tentu, syarat utamanya tidak tebang pilih. Untuk jawaban ini sangatnya subyektif, karena selalu saja muncul perdebatan, mana perkara yang tebang pilih, mana yang priotitas karena mendapat atensi publik. Selalu saja akan dihadapkan pada kondisi seperti itu.
Kembali ke permasalahan diksi "membantu KPK" yang dilakukan Cak Imin dan Anies Baswedan, untuk menjelaskan duduk permasalahan yang sedang dilakukan penyidikan, menjadi sebuah tindakan yang perlu diapresiasi. Tanpa perlu memperdebatkan, apakah proses tersebut murni penegakan hukum atau bukan, karena dengan keyakinan tidak terlibat dan memenuhi unsur pasal yang dipersangkakan terhadap tersangka dalam perkara tersebut, justru akan memberikan stigma positif sebagai tokoh yang taat pada hukum dan menghargai proses hukum itu sendiri. Bila memang tidak ada bukti, beberapa kalipun dimintai keterangan, tetap saja statusnya tidak berubah sebagai saksi.
Sebaliknya, siapapun orangnya, apalagi publik figure yang menghindari proses hukum, dengan berbagai alasan mengindari pemanggilan oleh aparat penegak hukum, maka akan timbul penafsiran : ia memang takut menghadapi proses hukum karena memang terlibat, dengan kalimat lain sebuah pertanyaan : bila tidak bersalah mengapa harus takut?
Salam Anti Korupsi
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H