Pertama, saya secara moril merasa "tidak nyaman" dan menganggap bahwa apa yang terjadi, menjadi sesuatu yang tidak perlu dikonsumsi oleh pihak luar, bagaimanapun saya terikat pada kode etik.Â
Tidak semua bisa disampaikan ke luar dengan mengumbar detail-detail apa yang sebenarnya terjadi. Ada titik-titik tertentu, misalnya bagaimana "perjuangan-arus bawah" atau pegawai yang memberikan "perlawanan" melalui email internal, dari kata-kata yang penuh semangat, mensuport, hingga yang terang-teranggan menyalahkan pihak tertentu dengan bahasa yang penuh emosional, meski dikemas dengan bahasa-bahasa sesopan mungkin. Suasana kebatinan yang tak nampak, pada titik tertentu tidak perlu untuk dimunculkan ke pihak luar. Tentunya bila ini secara utuh atau parsial dipilih-pilih, akan memberikan "fakta" yang tersembunyi.
Kedua, bagi saya, selain "tidak ingin" mengobral fakta sedetail mungkin dalam proses yang terjadi di KPK, saya anggap bersentuhan dengan masalah etika tadi, namun juga berasumsi, tidak selayaknya "semua rahasia" rumah tangga sendiri, diberi tahukan atau disebar luaskan pada publik.Â
Biarlah publik yang cerdas, akan menilai dengan fakta-fakta yang ada dipermukaan, tanpa harus diberikan "sajian dari pihak internal", yang tentunya bobot nilai beritanya lebih aktual, karena di samping menjadi bagian dari rumah tangga tadi, juga "langsung sebagai pihak yang terlibat".
Sehingga saya tidak ingin disebut sebagai provokator, pembocor rahasia kantor, dengan menyajikan hal detail, proses dan perjalanan fakta yang tentunya ada yang tidak muncul ke permukaan.
Analoginya, ketika sebuah rumah tangga terjadi masalah internal mereka, tentu menjadi "kurang elok" bila ada dari anak atau bagian dari keluarga tersebut "membocorkannya" pada tetangga.
Ketiga, apa yang terjadi kemaren dan pada perkara-perkara tertentu yang sering menjadi konsumsi publik, sebagai "orang dalam", saya tidak "tega" menelanjangi lembaga tempat saya bekerja.Â
Apapun yang saya sampaikan sebagai bentuk penyaluran hobi menulis artikel, "tetap" saya berkewajiban menjaga marwahnya. Bukankah aib harus ditutupi, bukan untuk diumbar pada orang lain? Bukankah bila ada luka atau penyakit kulit di lengan kita, sebaiknya ditutup dengan lengan panjang?
Begitulah, semoga pemberantasan korupsi negeri ini tetap on the track, bilapun ada riak-riak, yang muncul dan menjadi konsumsi publik, menjadi bagian dari dinamika yang ada, tanpa harus saya mengobral kata dan kalimat dari semua yang saya ketahui.
Tentunya, saya ikut prihatin, bila dalam dinamika yang terjadi, ada "penjual" informasi dari internal kepada pihak luar. Semestinya, pada batasan tertentu, hal-hal yang detail yang bisa disebut rahasia, tidak perlu dimunculkan ke permukaan untuk konsumsi publik. Apalagi, misalnya terkait dengan proses bisnis lembaga, yang harus dijaga marwahnya.Â
Sangat musykil dilakukan oleh orang luar, ketika sebuah pemberitaan begitu detailnya menulis hasil gelar perkara, misalnya yang jelas-jelas pesertanya terbatas dan sangat rahasia hasil dari gelar tersebut, atau sebaran dari copi tentang kronologis atau hasil interogasi yang tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaan yang sama persis titik dan komanya.