Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismilah, Menulis Tentang Korupsi

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Di Balik Dapur Pemberantasan Korupsi

1 Agustus 2023   13:34 Diperbarui: 3 Agustus 2023   02:35 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bersikap diam, tanpa menulis ke blog, kemudian di up load di kompasiana saya tempuh, ketika pemberitaan di seputar pasca OTT-Basarnas oleh KPK. Ramai-ramai para wartawan menulis dan melaporkan dari berbagai prespektif nara sumber dalam kemasan visual maupun teks.

Lalu, mengapa saya memilih tidak ikut-ikutan menulis atau mengabarkan bagaimana "panasnya" situasi internal, setelah salah seorang pimpinan KPK dalam konpers menyebutkan "adanya kekhilafan" dalam proses OTT tersebut, dengan klimaks berita mundurnya Direktur Penyidikan Brigjen Polisi Asep Guntur Rahayu yang juga Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi? Saya akan jelaskan pada bagian akhir tulisan.

Seiring detak waktu, Senin, 31 Juli kemaren, dilaksanakan apel dan arahan Ketua KPK, Firli Bahuri di depan sekitar 300 pegawai KPK yang langsung tatap muka, di salah satu Gedung KPK. Pegawai yang lain, mengikuti secara live baik di ruang kerja mereka atau yang saat melaksanakan tugas di luar kantor. Seolah, momen penting tersebut tidak ingin terlewati begitu saja.

Benar, dalam arahan dan audience setelah apel pada intinya disampaikan bahwa proses OTT- Basarnas, sesuai prosedur dan tidak ada yang salah. Bilapun ada kesalahan Pimpinan KPK yang bertanggung jawab.

Pada titik yang lain, salah seorang Wakil Ketua, yang "menjadi lakon", meminta maaf, karena telah menyebutkan penyelidik KPK khilaf dalam proses OTT sehingga kemudian ter-blow up media, memunculkan persepsi "ada yang salah" dalam proses OTT, yang menunjukkan kurang profesional.

Di sisi lain muncul kesan Pimpinan yang menyalahkan para pelaksana, menjadi substansi "ketidaknyamanan" dalam akhir pekan lalu. Meskipun secara internal, Pimpinan KPK sudah menyampaikan dan menjawab substansi tadi, namun belum juga memberikan rasa tenang bagi para pegawai, sampai akhirnya menjadi anti klimaks seusai arahan dan audience.

Dilanjutkan, dengan Senin Malam Ketua KPK, Firli Bahuri yang konpers bersama dengan Komandan POM TNI yang mengumumkan 2 tersangka dari anggota TNI aktif sebagai pihak penerima suap dari 3 tersangka sipil yang sudah ditetapkan oleh KPK sebelumnya.

Dengan demikian, sepertri sebuah film, maka ending-nya adalah "happy end". Tidak ada pihak yang salah, yang salah mengakui salah dan yang salah secara substansi diduga melakukan korupsi, diproses melalui saluran hukum yurisdiksinya masing-masing (meskipun debatable juga mengenai kewenangan KPK bisa tidaknya mengadili anggota TNI aktif ini), namun sepertinya KPK lebih memilih "jalur" yang sudah-sudah tadi, yaitu menyerahkan penanganan pelaku korupsi anggota TNI aktif ke Polisi Militer.

Kembali ke pertanyaan, mengapa saya baru menulis setelah semuanya "happy ending?" Bukankah lebih seru dan ada detail-detail fakta yang tidak terungkap ke media, karena keterbatasan akses dan info?

Ini jawabannya:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun