Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismilah, Menulis tentang : - Korupsi dan Bunga Rampai (2022) - Korupsi (2023) - Hukum dan Korupsi (22 Oktober 2024 sd. sekarang) - Sebelum aktif di Kompasiana (2022), menulis di Jawa Pos, Suara Merdeka, Tribun dan Beberapa Media Internal Kepolisian. (Masuk Dalam Peringkat #50 Besar dari 4.718.154 Kompasianer Tahun 2023)

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Gemulai Ikan Bisa Terlihat

21 Juni 2023   07:42 Diperbarui: 21 Juni 2023   07:46 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | Foto: Kompas.com

Lelang tender proyek dari pemerintah rawan dikorupsi. Terbukti, sekitar 89 persen penyedia barang dan jasa pengusaha rekanan pemerintah melakukan suap dalam usaha memenangkan tender. 

Hal itu terungkap dalam hasil survei Indonesia Procurement Watch di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi pada September-November 2010. Program Director IPW Hayie Muhammad menyebutkan, 92 persen penyedia barang dan jasa atau pengusaha rekanan pemerintah pernah melakukan penyuapan dalam tender. 

"Dari angka itu, sekitar 89 persen melakukan suap untuk memenangkan tender tersebut," kata Hayie usai memberikan data survei ke Komisi Pemberantasan Korupsi, Tempo.Co

Meski menggunakan data 3 tahun lalu, tetap masih up date dan relevan. Karena beberapa perkara yang ditangani KPK tahun-tahun belakangan masih marak dengan modus yang tidak beda jauh dari hasil survey tersebut.

Mengapa Lelang Tender Pekerjaan Rawan Dikorupsi?

Pertama, aturan lelang yang mudah "dikondisikan" sesuai kebutuhan, atau unsur pelaksana lelang yang memang "mudah mendapat" intervensi agar bisa mendapatkan komitmen fee atau bagi-bagi kue dari pemenang lelang. 

Mendapat fee dari pemenang lelang, diangap sebagai hal yang biasa, bagian dari hasil sampingan pekerjaan. Persepsi yang keliru dan sangat merugikan, baik perusahaan atau peserta lelang yang sebenarnya memenuhi spesifikasi dan syarat-syarat untuk memenangkan tender dan berkurangnya kualitas spesifikasi pekerjaan.

Kedua, pemenang lelang yang dimenangkan biasanya perusahaan yang hanya pinjam bendera perusahaan lainnya. Jadi ada semacam kong kalikong antar perusahaan. 

Pihak yang "berminat" untuk menang, merayu perusahaan lain dengan imbalan fee, bila "mau mengalah" dan hanya menjadi boneka saat lelang. Bagaimana dengan keterlibatan panitia lelang? 

Sangat dimungkinkan dengan rekayasa regulasi sedemikian rupa, sehingga perusahaan yang ditarget menang, mempunyai kualifikasi tertentu yang menjadi syarat untuk bisa menjadi pelaksana pekerjaan. 

Perusahaan yang sebenarnya qualifikasinya bagus, dibuat "tidak layak" menang karena munculnya regulasi yang telah direkayasa tadi, sehingga walaupun fakta lelang memberikan penawaran yang lebih kompetitif dan lebih rendah, tetap akan dikalahkan.

Ketiga, adanya konspirasi pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan dari pekerjaan atau proyek yang akan dilaksanakan. 

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron menyebut, rekanan proyek pemerintah yang tidak berkualitas menunjukkan adanya kongkalikong di balik penunjukan rekanan tersebut. 

Pernyataan ini Ghufron sampaikan saat dimintai tanggapan terkait sejumlah kantor perusahaan pemenang proyek perbaikan jalan di Lampung senilai miliaran rupiah yang tidak jelas. Ketika didatangi Kompas.com, kantor perusahaan itu berwujud rumah tua, tidak ada, hingga disegel bank.

 "Ketidak berkualitasan rekanan (pemburu rente) merupakan indikasi permainan yang patut dicurigai ada kongkalikong," kata Ghufron saat dihubungi Kompas.com, Selasa (23/5/2023) dikutip dari Kompas.com.

Keempat, pengaturan dokumen lelang oleh perangkat lelang sehingga perusahaan atau peserta lelang yang tidak dikendaki Panitia digugurkan pada tahap-tahap tertentu, misalnya pada tahap administrasi. 

Adanya persyaratan yang "tiba-tiba" muncul dan tidak mungkin dipenuhi oleh peserta lelang tadi. Sebaliknya, syarat yang "tiba'tiba" tadi, hanya dimiliki oleh perusahaan yang ditargetkan menang tender untuk melaksanakan pekerjaan atau proyek.

Berdasarkan pengalaman empiris, banyak anggota kelompok kerja, ketua pokja hingga kepala ULP yang sangat berperan dalam proses lelang, harus bekerja sedemikian rupa atas arahan atau skenario tertentu agar memenangkan salah satu peserta lelang. 

Ironisnya, mereka masuk perangkap konspirasi itu dan mendapat imbalan yang "sekedarnya" dan menganggap hal tersebut sebagai hal biasa atau uang yang wajar sebagai tambahan dalam bekerja. 

Istilah yang digunakan misalnya "uang untuk foto kopi", "uang lelah" dan sebagainya yang diberikan saat pengurusan administrasi atau dalam tahapan proses lelang tertentu, atau juga bila sudah dilakukan pengumuman pemenang lelang.

Untuk meminimalisir kecurangan dalam tender proyek ini, perlu transparansi dari stakeholder dalam proses lelang, pengadaan barang dan jasa serta Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Publik bisa memantau dan membandingkan apakah misalnya HPS tersebut dimark-up atau sesuai harga pasar. 

Di era kekinian, tentu  e-planning, e-budgeting dan e-catalogue yang transparan menjadi hal yang signifikan. Ibarat sebening air sehingga gemulai ikan di dalamnya bisa terlihat dari atas permukaan.

Salam anti korupsi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun