Konsep Polisi RW yaitu memungkinkan terjadinya interaksi untuk memecahkan masalah secara bersama dan saling mengembankan sikap yang positif.
Itu tentu memberikan kesempatan untuk saling memahami akan layanan yang dibutuhkan, menyadarkan komunitas pada posisinya yang sedang dilayani oleh Polisi, membuka peluang untuk bekerja bersama-sama komunitas berusaha untuk mengendalikan masalah yang terdapat di dalam komunitas serta menerapkan prinsip community policing akuntabilitas.
Kabaharkam Polri menjelaskan bahwa lahirnya Polisi RW ini merupakan bagian dari arahan Kapolri yang menterjemahkan perintah Presiden RI agar Polisi lebih dekat dengan masyarakat, sehingga sosok Polisi sebagai pelindung, pangayom Juga pelayan masyarakat bisa terwujud, dikutip dari Jakartanew.id.
Saya sangat setuju dengan Kebijakan Kapolri yang dilounching minggu yang lalu, tentang Polisi RW. Hakikatnya, membahas masalah polisi, tentu korelasinya adalah dengan masalah keamanan.Â
Masalah keamanan menjadi kebutuhan setiap manusia, di mana saja dan kapan saja. Sehingga dimensi masalah polisi dan rasa aman pada diri setiap manusia menjadi semacam sebuah simbiosis.Â
Sehingg atidak heran bila dalam teori Hierarchy Of Needs yang disampaikan oleh  Maslow, menyebutkan kebutuhan akan rasa aman menjadi salah satu kebutuhan dasar manusia.Â
Kelima kebutuhan tersebut adalah  kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan sosial, kebutuhan ego dan kebutuhan aktualisasi diri.
Sejauh ini, yang berkembang dalam masyarakat mengenal keberadaan polisi sampai tingkat Kecamatan dalam struktur Kepolisian Sektor. Di mana dalam pelaksanaan tugas melalui  pendekatan kemanusiaan, mengedepankan peran Bhabinkamtibmas.Â
Bhabinkamtibmas bermitra dengan Babinsa (dari TNI). Keberadaan dua mitra ini menguatkan peran pemerintahan tingkat kecamatan dan dirasa efektif manfaatnya.Â
Karena apabila ada permasalahan level grass root atau akar rumput, mereka yang langsung turun lebih awal dan nyatanya efektif, karena secara psikologis, mereka-lah yang secara langsung berinteraksi dalam keseharian dengan masyarakat.
Dinamika yang tumbuh dan berkembang, dengan kehetrogenan yang ada, menjadi sebuah "potensi" yang perlu untuk dirangkul, diajak bersama, sehingga potensi perbedaan tadi bisa menjadi kekuatan yang kuat dalam mengantisipasi adanya gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas).Â
Program fenomenal dan sangat melegenda dalam konteks mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat ini adalah ronda/ kamling/ jaga lingkungan. Di mana, warga secara sadar berjadwal dan bergiliran untuk menjaga lingkungannya pada malam hari.Â
Meski pada perkembangan sosial, kondisi seperti ini bergeser, warga ada yang mempercayakan keamanan lingkungan dikelola dengan memanfaatkan petugas keamanan atau Satpam lingkungan.
Ini sebuah perkembangan dinamis, ketika warga banyak kegiatan, sehingga tidak harus terkena jadwal melaksanakan jaga lingkungan. Dalam konsep besarnya, terciptalah keamanan swakarsa tadi.Â
Tentu, ini wujud dari kesadaran kolektif bersama dalam memaknai pentingnya rasa aman di lingkungan tempat tinggal, lingkungan pemukiman sampai pada lingkungan tempat bekerja.
Oleh karenanya, apapun program-nya, termasuk Program Polisi RW ini, saya mengartikannya sebagai keinginan Polri sebagai lembaga yang diberi amanah oleh negara untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat.
Oleh karena itu, dengan memberdayakan seluruh kekuatan personilnya pada saat ia bertugas ataupun saat ia tinggal di tengah-tengah masyarakat.Â
Karena figur polisi itu berada, di situlah sejatinya menjadi simbol terciptanya rasa aman. Tinggal, bagaimana para polisi-polisi, memaknai, bahwa masyarakatpun secara kolektif tadi maupun secara pribadi selalu membutuhkan simbol-simbol rasa aman, sehingga memberikan jaminan berlangsungnya aktifitas bermasyarakat.
Beberapa hal yang ingin dikontribusikan terkait Program Polisi RW ini adalah sebagai berikut :
Pertama, kehadiran polisi untuk semakin dekat dengan masyarakat, harus diimbangi dengan "brand-polisi" yang humanis, yang menghargai hak asasi manusia dan bukan sebagai trouble maker, justru kehadiran polisi menjadi pengurai dan penyelesai masalah, bukan malah sebaliknya.Â
Banyak yang bisa dilakukan, misalnya ikut menjembatani kebutuhan masyarakat saat akan membuat SKCK, Laporan Kehilangan, Perijinan, Pembuatan SIM dan sebagainya.
Kedua, kian mendekatkan polisi langsung ke tengah masyarakat, bukan secara arti fisik, namun yang lebih utama menghadirkan polisi secara psikologis, sehingga munculnya polisi tadi bukannya meresahkan.
Namun, memberikan ketentraman dan membangkitkan semangat untuk bekerja sama dalam mengeliminir potensi maupun ancaman keamanan.Â
Misalnya terkait begal, pencurian di lingkungan pemukiman dan sebagainya. Kemitraan masyarakat dengan polisi bisa menyentuh langsung bagaimana mencegah keresahan tadi menjadi sebuah rasa aman, dengan pendekatan dan cara kearifan lokal.
Ketiga, khusus untuk para polisi pelaksana di lapangan, menjaga amanat kebijakan pimpinan ini dengan menunjukan motivasi dan kerja dengan niat yang lurus.
Bukan sekadar menjalankan "perintah" yang implementasinya hanya menjadi robot dan nir rasa kemanusiaan dan penghargaan atas hak-hak manusia maupun hukum. Sehingga yang muncul adalah polisi yang benar-benar bisa melindungi dan melayani. Bukan sebaliknya.
Keempat, bagi masyarakat sendiri, dengan penuh kesadaran dan prasangka yang baik, dengan tangan terbuka ikut secara nyata mendukung langkah-langkah yang baik dari Polri tadi.
Dengan bisa memberikan kepercayaan, sehingga program-program bisa terlaksana, dengan ending terwujudnya dari konsep Polisi RW tadi, yaitu sosok Polisi sebagai pelindung, pangayom Juga pelayan masyarakat bisa terwujud.
Salam Takdim di awal Pekan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H