Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismilah, Menulis tentang : - Korupsi dan Bunga Rampai (2022) - Korupsi (2023) - Hukum dan Korupsi (22 Oktober 2024 sd. sekarang) - Sebelum aktif di Kompasiana (2022), menulis di Jawa Pos, Suara Merdeka, Tribun dan Beberapa Media Internal Kepolisian. (Masuk Dalam Peringkat #50 Besar dari 4.718.154 Kompasianer Tahun 2023)

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Fakta Lebih Kuat dari Kata-Kata, Facta Sunt Bonum Est Lex Legume

21 Maret 2023   09:17 Diperbarui: 30 Maret 2023   04:45 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pengadilan. (sumber: SHUTTERSTOCK via kompas.com) 

Sering terjadi, ketika seseorang duduk di kursi saksi ataupun sebagai tersangka dalam perkara korupsi, menutupi apa yang menjadi fakta yang ia alami. 

Dalam kapasitas sebagai saksi, memberikan keterangan yang tidak benar, beresiko hukum. Ia bisa dikenai sangkaan memberikan keterangan yang tidak benar. 

Tidak main-main, ancaman pidananya. Sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU Tipikor: "dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah).

Beda dengan tersangka, terdakwa mempunyai hak  untuk mengingkari ataupun tidak mengakui tindak pidana yang didakwakan terhadapnya. 

Hak ini sering disebut sebagai hak ingkar terdakwa. Pertanyaannya, bagaimana kalau dari awal proses penyidikan sudah tidak mengakui perbuatannya? 

Selama proses pemeriksaan di tingkat penyidikan, tidak mau mengakui apa disangkakan oleh penyidik. Akankah penyidik menggunakan segala cara untuk mengejar pengakuan? Cara seperti ini sudah lama ditinggalkan oleh penyidik tindak pidana korupsi. Mengapa?

Pertama, pembuktian secara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP, menempatkan alat bukti yang sah, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. 

Artinya, dengan dua alat bukti yang ada, dari lima alat bukti, pembuktian sudah dinyatakan cukup bukti. Sehingga mengejar pengakuan tersangka menjadi bukan hal yang utama.

Kedua, meskipun keterangan tersangka/ terdakwa bukan yang utama, namun berdasarkan pengalaman empiris, adanya keterbukaan dan keterus terangan tersangka/ terdakwa akan memudahkan atau membuat terangnya sebuah perkara. 

Ibaratnya, keterangan yang tidak diperoleh dari para saksi ataupun alat  bukti lain, bisa ditutupi atau disempurnakan oleh keterangan tersangka/ terdakwa, id perfectum est quad ex omnibus suis partibus constant (sesuatu dinyatakan sempurna apabila setiap bagiannya lengkap). 

Sehingg wajar, terhadap tersangka atau terdakwa yang sejak dari awal proses penyidikan berkata jujur, tidak bertele-tele, Hakim akan memberikan apresiasi berupa keringanan hukuman.

Ketiga, dari pengalaman empiris juga, seringkali tersangka atau terdakwa sengaja menyembunyikan fakta, selama alat bukti yang ada atau dimiliki penyidik belum lengkap. 

Ia cenderung bermain kata dan menyembunyikan fakta tersebut dengan tujuan seolah-seolah ia terdholimi, terfitnah dan lain alasan, sehingga di mata orang-orang terdekatnya tetap dianggap sebagai "Mr.Clean". 

Lebih-lebih dalam perkara korupsi dengan sangkaan penerimaan uang atau suap. Sangat mungkin terjadi, tersangka/terdakwa tetap mencitrakan diri tidak menerima uang, atau setidaknya di samping untuk kepentinganya sendiri, ia juga siap menjadi bumper untuk keterlibatan orang lain.

Pada titik inilah ketika penyidik menunjukan bukti-bukti terkait misalnya hasil recording (rekaman), voice hasil sadapan, percakapan lewat SMS atau Whatsapp, transaksi elektronik dari hasil jejak forensiknya dan sebagainya. 

Bila sudah ditunjukan atau diperlihatkan serta diperdengarkan barulah apa yang ia sembunyikan, tidak bisa dibantah lagi. Benarlah adagium yang menyebutkan facta sunt bonum est lex legume (perbuatan atau fakta lebih kuat dari kata-kata).

Bila ini terjadi dalam proses penyidikan maka, akan menjadi mengembang perkaranya, waktu dan kemungkinan ditetapkan tersangka baru. 

Terhadap tersangka yang demikian, karena adanya hak ingkar tadi, maka tidak berakibat ia ditetapkan sebagai tersangka dengan sangkaan pasal pemberian keterangan yang tidak benar. 

Namun, bila ini dilakukan oleh seorang saksi, maka status tersangka dengan sangkaan pemberian keterangan palsu, sangat layak disematkan padanya.

Kemauan dari pembuat undang-undang tiada lain dan tiada bukan adalah bahwa saksi harus mengatakan yang sebenarnya korelasinya dengan asas peradilan yang cepat. 

Semakin keterangan saksi apa adanya, tidak terjadi pengulangan dan penambah tersangka baru ketika perkara sedang berjalan.

Dalam kondisi tertentu, bahkan saksi sebelum dimintai keterangan akan disumpah sesuai dengan agama atau keyakinannya, bahwa apa yang akan dikatakan adalah benar. 

Bila saja setelah disumpahpun tidak berkata yang sebenarnya, maka memang sepantasnya kepadanya perlu ditersangka-kan dengan sangkaan tidak memberikan keterangan yang benar.

Bila keadaan menjadikan diri sebagai saksi, maka jujurlah. Selalu orang jujur akan menemukan jalan pada kebaikan.

Salam Jujur Itu Hebat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun