Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismilah, Menulis tentang : - Korupsi dan Bunga Rampai (2022) - Korupsi (2023) - Hukum dan Korupsi (22 Oktober 2024 sd. sekarang) - Sebelum aktif di Kompasiana (2022), menulis di Jawa Pos, Suara Merdeka, Tribun dan Beberapa Media Internal Kepolisian. (Masuk Dalam Peringkat #50 Besar dari 4.718.154 Kompasianer Tahun 2023)

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Bukan Fakta yang Terkesampingkan

16 Maret 2023   04:00 Diperbarui: 16 Maret 2023   04:00 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada  peristiwa hukum yang menarik perhatian publik. Menarik di sini dari peristiwanya yang memang viral, juga karena substansinya. Ibaratnya, apa yang menjadi adagium dalam hukum, menjadi terbukti. Adagium tersebut Domiunt aliquando leges, nunguam moriuntur, hukum terkadang tidur, tapi hukum tidak pernah mati. Sesuatu yang merupakan peristiwa hukum dan tersembunyi, pada saatnya akan terbuka dan menymbul ke permukaan.

Peristiwa hukum bila dibuat judul besarnya terkait dengan harta yang tidak wajar (illicit enrichment), yang ditandai dengan terbukanya kotak pandora akibat penganiayaan yang dilakukan anak Rafael Alun. Seperti percikan api, peristiwa ini melebar dan mengembang pada masalah harta tak wajar yang suka dipamerkan oleh para pejabat dan keluarganya. Publik seperti marah, sampai mendapat respon dari petinggi negeri ini. Akibatnya APH (Aparat Penegah Hukum), bergerak cepat meresponnya.

Bagai berantai, masalah harta tak wajar tersebut semakin terkuak ketika PPATK juga ikut bersuara, bahwa laporan terkait aliran dana tak wajar, sudah lama disampaikan ke APH terkait. Publik pun berasumsi, bila PPATK benar, mengapa sampai terjadi slow respon dari APH yang diberikan laporan tersebut? Seolah respon ini baru muncul ketika sudah viral dan terblow up di media.

Bayangkan, bagaimana mungkin transaksi sekian tahun yang sudah terlaporkan tersebut "melenggang bebas" begitu saja tanpa mengusik perhatian pihak-pihak yang berkompenten dalam bidang pengawasan? Bila dugaan bahwa transaksi yang melenggang bebas tersebut sebagai bentuk pencucian uang, berarti menjadi masalah hukum yang "tidak" tersentuh. Baru kemudian ketika viral, ada gerakan cepat untuk meresponnya.

Tentu ini menjadi preseden yang kurang baik bagi terciptanya keadilan di masyarakat. Seolah, sangat mudah menyembunyikan sebuah peristiwa hukum karena seolah-olah pula penegak hukumnya yang kurang responsive. Apa saja yang telah dilakukan para penegak hukum, sehingga "seolah abai" terhadap fakta-fakta tersebut? Dalam konteks APH yang dimaksud adalah KPK,  analisanya beberapa hal sebagai berikut

Pertama, jumlah laporan transaksi yang tidak wajar dan masuk ke KPK/ penyidik banyak, sehingga digunakan pola skala prioritas. Beberapa perkara yang ditangani KPK, mendasari dari temuan yang dilaporkan oleh PPATK. Sebagai gambaran, dikutip dari Buletin Statistik ppatk.go.id, hingga bulan Desember 2022 (akumulasi Januari -- Desember 2022), PPATK telah menyampaikan Hasil Analisis (selanjutnya disebut HA) kepada penyidik sebanyak 895 HA dengan 376 HA Proaktif dan 519 HA Inquiry sementara untuk dugaan tindak pidana yang paling dominan adalah Tindak Pidana Korupsi (218 HA/25%) serta 24 output Hasil Pemeriksaan (selanjutnya disebut HP).

Kedua, satuan tugas yang diberi beban untuk penelusuran transaksi mencurigakan kurang fokus, karena beban sebagai PIC perkara korupsi yang ditanganinya. Artinya, perlu pembentukan Satuan Tugas yang benar-benar diberi target menindak lanjuti Laporan PPATK, tanpa dibebani perkara korupsi yang lain.

Ketiga, untuk menjadikan seseorang sebagai tersangka korupsi yang ditangani KPK ada persyaratan tentang status-nya sebagai "Penyelengga Negara", sehingga ada jabatan dan kepangkatan yang harus terpenuhi. Bisa jadi dari ribuan transaksi yang tidak wajar tersebut dilakukan oleh mereka yang "bukan sebagai Penyelenggara Negara. ". Dengan pola skala prioritas tadi, menjadikannya belum tersentuh oleh hukum.

Berdasarkan Bab I Pasal 1 pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN: "Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku". Dijelaskan dalam Bab II Pasal 2 UU No 27/1999 Penyelenggara negara meliputi:

1. Pejabat Negara pada Lembaga tertinggi Negara; 

2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; 

3. Menteri; 

4. Gubernur; 

5. Hakim; 

6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan 

7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Semoga bisa  dimengerti, mengapa sebuah fakta penting "seolah" terkesampingkan. Baru segera mendapat respon cepat, manakala ada "pemicunya."  

Salam Anti Korupsi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun