Salah satu sudut di kota Jakarta adalah deretan lapak berukuran tidak lebih dari 2x4 meter, di Jalan Surabaya, Menteng, Jakarta Pusat.Â
Isi lapak-lapak tersebut adalah barang-barang antik, misalnya guci, dekorasi kreatif dari kayu berbagai daerah di Indonesia, tas, koper, sepatu hinga pernik-pernik lampu hias, kuningan sampai pada kaset, piringan hitam dan perangkat musik era jadul lainnya. Pokoknya semua yang antik-antik ngumpul di tempat tersebut.
Bagi penikmati barang antik, tempat tersebut sangatlah menarik. Untuk mendapatkan barang di tempat tersebut, tentunya harus memilih mana yang suka, bila cocok tawar menawar.
Dibutuhkan kemampuan menawar, kalo tidak, bisa terjebak dengan harga yang justru lebih murah bila membeli di toko. Tidak semua barang-barang yang ada di Pasar Antik tersebut, benar-benar "barang jadul" yang karena usianya telah tua menjadi antik dan mahal harganya.
Bisa jadi, hanya misalnya guci, ukuran tinggi 40 cm, bisa dipasang dengan harga lebih dari satu juta rupiah. Namun bila pandai menawar, bisa deal dengan harga misalnya dua ratus ribu sampai dua ratus lima puluh ribu.Â
Akan lebih murah lagi bila belinya sekalian beberapa benda yang ada dalam satu lapak tersebut, langsung dengan harga borongan.
Konon, di tahun 70-an hingga era 90-an Pasar antik tersebut menjadi salah satu destinasi para turis mancanegara. Banyak pihak travel menjadikan Pasar Barang Antik sebagai salah satu titik kunjung para wisatawan.
Memang di situ, terpajang barang-barang antik yang sangat menggoda minat wisatawan baik yang domestic maupun mancanegara. Barang-barang dekoratif, pernik-pernik dari keramik, yang lucu dengan estitika tinggi, menjadikan sasaran pembeli.
"Itu dulu, sekarang sudah berbeda jauh. Menemukan turis mancanegara yang datang di drop oleh bus wisata atau hotel, sudah jarang terjadi. Yang ada sekarang malah pembeli lokal yang datang perorangan. Lama-lama bila kondisi seperti ini, bisa-bisa satu persatu pedagang tutup lapak," ucap Santo, yang mengaku dari Bogor.
Ia pernah melewati masa "keemasan" pasar barang antik tersebut. Di usianya yang senja, waktunya untuk meneruskan usaha barang antik pada anaknya, tapi kenyataannya kondisi sudah berbeda. Sehingga anak-anaknya kurang tertarik.
Menurut Santo, mungkin cerita-cerita bahwa barang-barang yang dipasarkan tersebut baru dijual dengan harga yang mahal, membuat pembeli lokal malas datang ke pasar barang antik tersebut. Hanya mereka yang benar-benar "kolektor" yang akan datang dan membeli. Anggapan ini ditepis oleh pedagang lainnya, Budi.
"Tidak selamanya benar barang di sini mahal-mahal. Tergantung kepandaian menawar saja. Wajar kalau pedagang pasang harga tinggi, silakan pembeli menawar. Pedagang juga butuh barangnya laku, tidak harus untung banyak. Bahkan kadang, untuk menutup operasional, bila beberapa hari tidak ada pembeli yang membeli dagangan, harga bisa di bawah modal. Yang penting ada uang masuk."
Begitu tutur Budi.
Dari pengamatan, memang siang itu ketika saya singgah, pengunjung nampak lengang. Hanya tampak beberapa orang, dan dari beberapa orang tersebut hanya satu atau dua yang sampai terjadi transaksi.
Begitulah, lain zaman, lain situasi dan lain kondisi. Kehidupan terus berputar dan kita tidak tahu, bagaimana nasib Pasar Barang Antik Jalan Surabaya Menteng tersebut, bila tidak disentuh oleh kebijakan kreatif pemerintah setempat, untuk kembali memberdayakan Pasar Barang Antik sebagai salah satu titik destinasi wisatawan, yang pada eranya pernah menjadi jujugan favorit para turis tersebut.
Salam dari Menteng
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H