Ia pernah melewati masa "keemasan" pasar barang antik tersebut. Di usianya yang senja, waktunya untuk meneruskan usaha barang antik pada anaknya, tapi kenyataannya kondisi sudah berbeda. Sehingga anak-anaknya kurang tertarik.
Menurut Santo, mungkin cerita-cerita bahwa barang-barang yang dipasarkan tersebut baru dijual dengan harga yang mahal, membuat pembeli lokal malas datang ke pasar barang antik tersebut. Hanya mereka yang benar-benar "kolektor" yang akan datang dan membeli. Anggapan ini ditepis oleh pedagang lainnya, Budi.
"Tidak selamanya benar barang di sini mahal-mahal. Tergantung kepandaian menawar saja. Wajar kalau pedagang pasang harga tinggi, silakan pembeli menawar. Pedagang juga butuh barangnya laku, tidak harus untung banyak. Bahkan kadang, untuk menutup operasional, bila beberapa hari tidak ada pembeli yang membeli dagangan, harga bisa di bawah modal. Yang penting ada uang masuk."
Begitu tutur Budi.
Dari pengamatan, memang siang itu ketika saya singgah, pengunjung nampak lengang. Hanya tampak beberapa orang, dan dari beberapa orang tersebut hanya satu atau dua yang sampai terjadi transaksi.
Begitulah, lain zaman, lain situasi dan lain kondisi. Kehidupan terus berputar dan kita tidak tahu, bagaimana nasib Pasar Barang Antik Jalan Surabaya Menteng tersebut, bila tidak disentuh oleh kebijakan kreatif pemerintah setempat, untuk kembali memberdayakan Pasar Barang Antik sebagai salah satu titik destinasi wisatawan, yang pada eranya pernah menjadi jujugan favorit para turis tersebut.
Salam dari Menteng
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H