Menjadi sebuah fakta persidangan, bila akhirnya Hakim lebih memilih "menjatuhkan putusan yang lebih berat" kepada pelaku lain, dan menjatuhkan putusan yang "sangat ringan" untuk perkara pembunuhan.Â
Sejarah penegakan hukum di Indonesia, akan mencatat hal ini sebagai bagian "pemenuhan-rasa adil" dalam masyarakat.Â
Walaupun, tentunya ada pihak pihak yang tidak setuju juga atas putusan hakim ini. Namun faktanya, arus deras dukungan lebih mengemuka dan menjadi sebuah "momentum" keadilan yang bersuara dari masyarakat.
Saya yakin, sesuai dengan asas hukum hakim sudah mendengar para pihak, sampai akhirnya memberikan putusan yang mengejutkan tersebut,  audi et alteram parftem atau audiatur et  altera pars.
Bila dalam perkara tertentu, kadang publik skeptis, apatis dan berpandangan negative, merasa jauh dari rasa keadilan, pada perkara Eliezer ini, hal tersebut bagai terkesampingkan.Â
Seolah cahaya baru dalam proses penegakan hukum menemukan momentumnya. Dormiunt aliquando leges, nunquam motiuntur, hukum kadang tidur, tetapi hukum tidak pernah mati. Begitulah.
Meskipun apa yang diputuskan oleh Pengadilan Jakarta Selatan tersebut belum final, karena masih memungkinkan proses hukum berjalan sampai mempunyai kekuatan hukum tetap.
Namun setidaknya publik beranggapan, keadilan substantif sudah terbuka dan menemui jalannya. Tentunya, ke depan putusan-putusan pengadilan, selalu berpihak kepada keadilan.Â
Bukan kepada pihak-pihak tertentu atau adanya intervensi dan tekanan masif dari pihak manapun juga.
Biar "dewi keadilan" tersenyum di negeri ini. Karena nilai keadilan, pada titik tertentu sudah ternarasikan sebagai sesuatu yang sulit di dapat di negeri ini.Â
Keadilan, sebagai sebuah harapan dalam kehidupan di negeri ini, sudah selayaknya menjadi capaian kenyataan, bukan sebagai fatamorgana, sesuatu yang nampak, namun tidak bisa dipegang secara fisiknya.Â