Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismillah, Menulis Seputar Hukum dan Korupsi

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Eliezer, Penoreh Catatan Sejarah Penegakan Hukum

16 Februari 2023   11:02 Diperbarui: 17 Februari 2023   10:25 1006
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Richard Eliezer divonis hukuman 1,5 tahun penjara. (Foto: KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO) 

Bharada Richard Eliezer dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana terhadap Brigadir N Yosua Hutabarat dan divonis 1,5 tahun penjara. 

Eliezer menangis haru mendengar putusan hakim. "Menjatuhkan pidana selam 1 tahun dan 6 bulan penjara," ujar hakim ketua Wahyu Iman Santosa saat membacakan putusan di PN Jaksel, Rabu (15/2/2023), dikutip dari detiknews.

Richard Eliezer bakal menjadi nama yang fenomenal dalam catatan sejarah penegakan hukum di negeri ini. 

Bagaimana tidak? Sulit mengingkari fakta, adanya fans emak-emak yang dengan setia mendukung setiap persidangan Eliezer, namun juga puluhan Guru Besar, Doktor dan praktisi hukum yang menyatakan dukungan pada Eliezer (amicus curiae). 

Dikutip dari KompasTV, mereka sepakat menyerahkan surat ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk memohon keadilan bagi Richard Eliezer yang berstatus justice collaborator sesuai sial kedua " kemanusiaan yang adil dan beradab. Keadilan adalah keadaban memanusiakan kejujurannya.

Meski ia sebagai terdakwa dalam perkara pembunuhan berencana, namun posisinya dari awal persidangan yang berada dalam perlindungan LPSK, mendudukan dirinya sebagai Justice Colaborator (walaupun ini debatable).

Namun, akhirnya Majelis Hakim memutuskan memang Eliezer pantas memperoleh "penghargaan" atas perannya dalam membuka tabir kegelapan dan kesimpangsiuran perkara tewasnya Brigadir Yosua.

Fenomena dukungan kepada Elizer, tiada lain dan tiada bukan karena: kejujurannya dan membuat perkara menjadi terang benderang. 

Bisa jadi, tanpa keterbukaan Eliezer, perkara akan tetap gelap gulita, bahkan sangat mungkin narasi "pembengkokan-fakta" yang akan terjadi sebagai closing dan latar belakang keputusan hakim.

Di samping "keterbukaan" tersebut, faktor utama hakim meringankan putusan Eliezer adalah permintaan maafnya pada keluarga korban Brigadir Yosua. 

Kedua orang tua korban bahkan "ikut memberikan" dukungan agar Eliezer, seadainyapun divonis bersalah, dengan putusan yang ringan. Hakim rupanya mengakomodir dan mempertimbangan ini semua.

Menjadi sebuah fakta persidangan, bila akhirnya Hakim lebih memilih "menjatuhkan putusan yang lebih berat" kepada pelaku lain, dan menjatuhkan putusan yang "sangat ringan" untuk perkara pembunuhan. 

Sejarah penegakan hukum di Indonesia, akan mencatat hal ini sebagai bagian "pemenuhan-rasa adil" dalam masyarakat. 

Walaupun, tentunya ada pihak pihak yang tidak setuju juga atas putusan hakim ini. Namun faktanya, arus deras dukungan lebih mengemuka dan menjadi sebuah "momentum" keadilan yang bersuara dari masyarakat.

Saya yakin, sesuai dengan asas hukum hakim sudah mendengar para pihak, sampai akhirnya memberikan putusan yang mengejutkan tersebut,  audi et alteram parftem atau audiatur et  altera pars.

Bila dalam perkara tertentu, kadang publik skeptis, apatis dan berpandangan negative, merasa jauh dari rasa keadilan, pada perkara Eliezer ini, hal tersebut bagai terkesampingkan. 

Seolah cahaya baru dalam proses penegakan hukum menemukan momentumnya. Dormiunt aliquando leges, nunquam motiuntur, hukum kadang tidur, tetapi hukum tidak pernah mati. Begitulah.

Meskipun apa yang diputuskan oleh Pengadilan Jakarta Selatan tersebut belum final, karena masih memungkinkan proses hukum berjalan sampai mempunyai kekuatan hukum tetap.

Namun setidaknya publik beranggapan, keadilan substantif sudah terbuka dan menemui jalannya. Tentunya, ke depan putusan-putusan pengadilan, selalu berpihak kepada keadilan. 

Bukan kepada pihak-pihak tertentu atau adanya intervensi dan tekanan masif dari pihak manapun juga.

Biar "dewi keadilan" tersenyum di negeri ini. Karena nilai keadilan, pada titik tertentu sudah ternarasikan sebagai sesuatu yang sulit di dapat di negeri ini. 

Keadilan, sebagai sebuah harapan dalam kehidupan di negeri ini, sudah selayaknya menjadi capaian kenyataan, bukan sebagai fatamorgana, sesuatu yang nampak, namun tidak bisa dipegang secara fisiknya. 

Tentu ironi ini tidak boleh berkelanjutan. Maka, perkara tewasnya brigadir Yosua, seolah membuka mata kita semua, untuk "tidak takut" menyuarakan kebenaran. 

Salam Hormat Untuk Kita Semua, Demi Keadilan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun