Kali ini, dalam rangka penelusuran aset hasil korupsi perkara yang tengah ditangani, saya berada di Kota Medan, Sumatera Utara untuk beberapa hari.Â
Dalam penanganan tindak pidana korupsi, penelusuran aset sangat penting karena berkorelasi dengan asset recovery atau pengambalian aset atas kerugian Negara yang ditimbulkan.
Ketika menyusur aset tersebut, yaitu sebuah hamparan lahan tanah dengan dua sertifikat Hak Milik, dengan luas sekitar 6.000 M2. Didampingi petugas ukur dari Kantor Pertanahan setempat, akhirnya aset yang dicari tersebut sudah nampak di depan mata.Â
Lahan terpagari oleh tembok. Ada bekas gudang yang sudah nyaris roboh. Untuk masuk ke lahan tersebut, ada pintu gerbang dari besi yang kokoh. Untunglah ada celah lobang untuk mengisyaratkan agar orang yang di dalam, membuka pintu besi tersebut.
Benar, ada seorang berusia sekitar 40 tahuan yang membukakan pintu. Menyusul kemudian, ada lelaki tua berusia 80-an tahun yang mendekat. Lelaki yang muda tadi, setelah menanyakan maksud tujuan tamu, menyilakan untuk langsung berbicara dengan lelaki tua, yang disebutkan namanya : Pak Damin.Â
Pak Daminlah yang sebenarnya "bertugas"menjaga lahan tersebut. Lahan kini ditanam jagung, yang gagal panen dan dijual untuk pakan hewan ternak. Lelaki tersebut mengaku, mengolah lahan kosong dan memberi makan ala kadarnya Pak Damin yang sudah sebatang kara tersebut.
Ya, Pak Damin, lelaki berusia 80 tahun asal Binjai Aceh tersebut, dengan suara pelan bekisah, bahwa ia sudah 5 tahun ini tinggal di "bangunan ala kadarnya" di sudut lahan tanah. Awalnya, ia diajak anaknya untuk bekerja di lahan tersebut. " Anak saya bilang akan digaji Rp 1,5 juta perbulan. " Namun faktanya, tidak pernah sekalipun digaji sampai sekarang."
Ironisnya, setelah Pak Damin tinggal di lahan, beberapa bulan ia mendengar tanah rumah yang ada di Binjai sudah dijual oleh anaknya tersebut. Semua anak Pak Damin berjumlah 10 orang. Tiada satupun yang bersedia ketempatan dirinya setelah belakangan ia bekerja dan tidak dibayar.
" Saya tidak mungkin meninggalkan tempat ini, rumah sudah dijual oleh anak-anak dan mereka tidak ada  yang mau bila saya ikut salah satu dari anak saya. "
Ucap Pak Damin meneteskan air mata. Kelihatan sedih dan merana. Tatapan matanya kosong.
" Kalau ada yang bilang banyak anak banyak rejeki, saya tidak percaya. " Ucapnya lirih.
Di lahan tersebut Pak Damin menanam sayuran, jagung dan memelihara ternak unggas. Dari situlah ia bertahan untuk tetap hidup dalam kesederhanaan. Ia tetap Teguh dalam menjalankan kewajiban agamanya. Ini terlihat, saat berbincang, ia baru saja berwudlu, untuk melaksanakan solat dhuhur. Trenyuh sekali melihat profil Pak Damin.
"Rumah" yang ditinggali Pak Damin, sangatlah sederhana. Petakan lahan, yang hanya beratap seng yang sudah tidak beraturan, asal ditumpuk agar air tidak menetes saat hujan. Untuk menghindati serangan nyamuk, ada selembar kelambu tua dan kusam yang terpasang.Â
"Dengan adanya kelambu, bisa tidur nyenyak. ", di depan "rumah" tersebut ada kandang ayam. Untuk keseharian, ada saja orang di sekitar yang kadang memberi nasi atau makanan lainnya. Bila kebetulan tidak ada yang memberi, Pak Damin akan mengolah sayuran atau umbi-umbian yang tumbuh di lahan bermasalah tersebut.
Ia, menjadi lebih sedih ketika tahu bahwa bila nantinya lahan yang ia jaga, ia tempati saat ini disita oleh KPK. Ia tidak tahu harus tinggal di mana. Pada ujung pertemuan dengan Pak Damin, sempat saya jabat tangannya dan dua bungkus roti yang tadi sempat saya ambil dari mobil saya berikan padanya. " Hati-hati dan sabar ya Pak. " Ucap saya. Pak Damin hanya mengiyakan dengan anggukan.
Selalu ada saja, orang yang "jahat", mendholimi orang lain yang semestinya mendapatkan haknya. Bahkan anak sendiri-pun tega menjual aset orang tuanya serta membiarkan masa tuanya dalam kesendirian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H