Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismilah, Menulis tentang : - Korupsi dan Bunga Rampai (2022) - Korupsi (2023) - Hukum dan Korupsi (22 Oktober 2024 sd. sekarang) - Sebelum aktif di Kompasiana (2022), menulis di Jawa Pos, Suara Merdeka, Tribun dan Beberapa Media Internal Kepolisian. (Masuk Dalam Peringkat #50 Besar dari 4.718.154 Kompasianer Tahun 2023)

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Almarhum yang Ditersangkakan dari Perspektif Hukum Progresif

4 Februari 2023   05:51 Diperbarui: 7 Februari 2023   10:00 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukankah terhadap perkara dengan para pihak yang hidup saja, diupayakan adanya mediasi, selama ada jalan dan kesepakatan, sebagai ujud restorative justice? 

Apalagi terhadap salah satu pihak yang sudah meninggal dunia, di mana dalam konsep relegi, diajarkan untuk memberikan penghargaan "kebaikan" pada almarhum? Tidak perlu lagi mengulik hal-hal yang buruk padanya? 

Bila keburukan tadi dalam narasi "memenuhi unsur normative perbuatan pidana", apa untungnya mengulik "keburukan" tadi, sedangkan ia sudah tidak lagi bisa dimintai pertanggungjawaban?

Apakah tidak terpikir, bahwa korelasi yang bisa dan sangat mungkin terjadi, atas status almarhum, membawa kedukaan dan kesedihan yang tidak perlu lagi ditambahi beban psikologis dan embel-embel serta stigma sebagai tersangka yang terbawa kea lam kubur?

Baca juga: Akhirnya Dianulir, Almarhum yang Ditersangkakan

Untuk itulah, menjadi urusan keluarga, pihak yang terkait dan penegak hukum untuk berpikir responsive-progresif. 

Oleh Philippe Nonet dan Philip Selnick, diajarkan adanya teori hukum yang menawarkan sesuatu yang lebih daripada sekedar keadilan procedural, tetapi mampu berfungsi sebagai fasilitator dari respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial.

Dalam paradigma hukum responsive tadi, saya berpendapat bahwa ketika terjadi persentuhan hukum antara aspek normative yang dijabarkan dalam kepastian hukum dan rasa keadilan, maka rasa keadilan itulah yang perlu untuk diutamakan. 

Walaupun dalam prakteknya, menyebut frasa "adil" akan menimbulkan bias (tergantung dari sudut pandang tertentu).

Minimal bila sudah ada kesepakatn untuk menyelesaikan dengan rasa "adil" bridging yang diperlukan adalah komunikasi yang baik para pihak dan pada akhirnya formalitas penyelesaian dilakukan dengan kesepakatan bersama. Bukankah kesepakatn dua belah pihak juga merupakan solusi hukum yang harus ditaati bersama?

Het recht hink achter de feiten aan, hukum senantiasa tertatih mengejar peerubahan jaman. Kitalah yang mesti progresif, menyejarkan ketertatihan hukum tadi pada kebutuhan kita sendiri sesuai dengan dinamika jaman. 

Apa susahnya "mengesampingkan" sebuah "akta" yang bersimbolkan kepastian, bila menciderai dari inti sebuah keadilan yang bisa dicapai dengan mediasi para pihak? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun