Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismilah, Menulis Tentang Korupsi

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Almarhum yang Ditersangkakan dari Perspektif Hukum Progresif

4 Februari 2023   05:51 Diperbarui: 7 Februari 2023   10:00 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hukum, ilustrasi sistem hukum. (sumber: Shutterstock via kompas.com)

Ketika penetapan tersangka Mohammad Hasya Athallah Saputra, mahasiswa UI yang tewas akibat kecelakaan dengan salah seorang Purnawirawan Polri menimbulkan pertanyaan. 

Banyak yang berpihak kepada Hasya, seperti dikutip dari tempo.co, ada pula yang membenarkan penetapan tersebut.

Ada beberapa perkara yang menyentuh hati nurani kita. Seseorang sudah meninggal dunia, harus menanggung status tersangka. Dengan perkataan lain, ia menjadi Tersangka, setelah jasad berpisah dengan raganya. 

Tidak adakah solusinya sehingga keluarga yang ditinggalkan acapkali merasa keberatan dan menganggap hal tersebut jauh dari empati. Bukankah meninggalnya seseorang menjadi sebuah kedukaan? 

Di tengah kedukaan, dibutuhkan rasa empati, sebagaimana yang dialami keluarga Mohammad Hasya dalam prolog artikel ini.

Pada sisi lain, proses hukum mengenal perlunya sebuah "kepastian", sehingga terkadang dan ini yang terjadi, demi mengejar kepastian hukum tersebut, mengabaikan asas manfaat dan tujuan hukum itu sendiri. 

Bukankah hukum dibentuk untuk kebaikan, kesejahteraan, rasa aman, rasa penuh penghargaan, maupun penghormatan atas hak-hak orang lain?

Mengutip pendapat pakar hukum Satjipto Rahardjo, fungsi hukum ada tiga, yaitu pembuatan norma, penyelesaian sengketa, dan menjamin kelangsungan kehidupan masyarakat.

Dengan pijakan tiga fungsi tersebut, sudah sepantasnya, ketika seseorang terlibat dalam sebuah perkara, dan dalam proses perkara tersebut, ia tidak tuntas dalam penyelesaiannya karena ia harus menghadap Tuhan.

Maka cara-cara yang bijak harus ditemukan untuk penyelesainnya. Tidak sekedar memenuhi aspek formal-normative, menjustifikasi pemenuhan unsur sehingga kepadanya disandangkan status tersangka.

Bukankah terhadap perkara dengan para pihak yang hidup saja, diupayakan adanya mediasi, selama ada jalan dan kesepakatan, sebagai ujud restorative justice? 

Apalagi terhadap salah satu pihak yang sudah meninggal dunia, di mana dalam konsep relegi, diajarkan untuk memberikan penghargaan "kebaikan" pada almarhum? Tidak perlu lagi mengulik hal-hal yang buruk padanya? 

Bila keburukan tadi dalam narasi "memenuhi unsur normative perbuatan pidana", apa untungnya mengulik "keburukan" tadi, sedangkan ia sudah tidak lagi bisa dimintai pertanggungjawaban?

Apakah tidak terpikir, bahwa korelasi yang bisa dan sangat mungkin terjadi, atas status almarhum, membawa kedukaan dan kesedihan yang tidak perlu lagi ditambahi beban psikologis dan embel-embel serta stigma sebagai tersangka yang terbawa kea lam kubur?

Baca juga: Akhirnya Dianulir, Almarhum yang Ditersangkakan

Untuk itulah, menjadi urusan keluarga, pihak yang terkait dan penegak hukum untuk berpikir responsive-progresif. 

Oleh Philippe Nonet dan Philip Selnick, diajarkan adanya teori hukum yang menawarkan sesuatu yang lebih daripada sekedar keadilan procedural, tetapi mampu berfungsi sebagai fasilitator dari respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial.

Dalam paradigma hukum responsive tadi, saya berpendapat bahwa ketika terjadi persentuhan hukum antara aspek normative yang dijabarkan dalam kepastian hukum dan rasa keadilan, maka rasa keadilan itulah yang perlu untuk diutamakan. 

Walaupun dalam prakteknya, menyebut frasa "adil" akan menimbulkan bias (tergantung dari sudut pandang tertentu).

Minimal bila sudah ada kesepakatn untuk menyelesaikan dengan rasa "adil" bridging yang diperlukan adalah komunikasi yang baik para pihak dan pada akhirnya formalitas penyelesaian dilakukan dengan kesepakatan bersama. Bukankah kesepakatn dua belah pihak juga merupakan solusi hukum yang harus ditaati bersama?

Het recht hink achter de feiten aan, hukum senantiasa tertatih mengejar peerubahan jaman. Kitalah yang mesti progresif, menyejarkan ketertatihan hukum tadi pada kebutuhan kita sendiri sesuai dengan dinamika jaman. 

Apa susahnya "mengesampingkan" sebuah "akta" yang bersimbolkan kepastian, bila menciderai dari inti sebuah keadilan yang bisa dicapai dengan mediasi para pihak? 

Meskipun, tetap akan menjadi pengecualian, pada perkara tertentu, solusi ini diabaikan. Namun, bukan dalam konteks normative dengan stigma tersangka kepada seseorang dengan status almarhum.

Salam sehat dan bahagia untuk kita semua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun