Kekhawatiran yang muncul adalah, RJ akan menjadi modus untuk melakukan tindak pidana. Yang ada dalam benak pelaku " ah, bila tertangkap, siap-siap berakting ". Hal ini sangat mungkin, karena salah satu variable utama skema RJ adalah nilai-nilai kemanusiaan yang dijunjung tinggi.
Terhadap potensi kontraproduktif atas nilai kemanusiaan, penyidik perlu memproteksi hal-hal sebagai berikut :
Pertama, terhadap pelaku tindak pidana yang "akan diselesaikan" melalui RJ, setelah korban memaafkan dan siap atau setuju perkaranya diselesaikan dengan mediasi.
Perlu tracking, semacam assement seberapa "benar" pengakuan diri pelaku sehingga menjadi latar belakang modus tindak pidana yang ia lakukan.
Misalnya mencuri sepeda motor, dengan alasan karena benar-benar kepepet untuk biaya makan, bayar kos, anak sakit dan seterusnya. Benarkah latar belakangnya?
Sebab mencuri sepeda motor, tentu perlu hal-hal khusus, disbanding dengan nenek-nenek mencuri anting-anting senilai Rp. 300.000, di Surabaya.Â
Sikap batin dalam melakukan pencurian antara pencuri sepeda motor dan si Nenek, yang sama-sama diperlakukan melalui mediasi, bobot atau nilai kemanusiaanya tentu lebih berat pada Si Nenek (dilihat dari usia, modus tindak pidananya).
Kedua, jangan sampai skema RJ dengan mediasi kedua pihak, penyidik belum mengantongi efek psikologis sosial dari dampak kejadian tersebut. Misalnya dalam perkara segerombolan remaja, melakukan pencurian binatang ternak, yang akhirnya ketangkap massa.Â
Warga sekitar sangat resah karena binatang ternak piarannya sering hilang. Ternak dicuri untuk dibuat sate atau di bakar oleh remaja tersebut.Â
Terhadap kondisi seperti ini, penyidik harus berada pada kepentingan masyarakat banyak, walaupun antara pelaku dan korban sudah bisa saling memaafkan dan memberi ganti rugi.Â