Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismillah, Menulis Seputar Hukum dan Korupsi

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Delik Aduan untuk Pasal Perzinahan

20 Desember 2022   04:00 Diperbarui: 21 Desember 2022   09:15 871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu yang menarik dan diperdebatkan pascadisahkannya RKUHP menjadi KUHP adalah tentang pasal perzinahan dan kohabitasi (kumpul kebo, semen leven). Bahkan "kelewat hebohnya" ada negara tetangga hingga perwakilan badan dunia ingin tahu lebih jauh tentang hal tersebut, ini relevansinya dengan kunjungan ke Indonesia dan stay di hotel. Ketakutannya adalah bila bermalam atau booking hotel, kedapatan bukan suami istri, bisa dikenakan pasal baru tersebut.

Para stakeholder terkait disahkannya KUHP sudah memberikan penjelasan, pada intinya, hukum baru bisa digerakan apabila ada delik aduan.

Jadi, bagi turis, atau siapa saja yang booking dan melakukan kohabitasi tanpa adanya pengaduan pihak "pasangan yang sah", maka tidak ada law enforcement atau penegakan hukum. Penyidik, tidak bisa serta merta atas laporan warga, kemudian melakukan penggrebekan dan menangkap mereka yang terlibat.

Makanya, ada "area abu-abu" terkait dengan pengesahan pasal tersebut, dengan mengatakan bahwa hal tersebut substansinya sebagai ranah privat, negara tidak perlu turut campur.

Bukankah hukum pidana lebih pada ranah publik? Yang dalam konteks ini adalah bagaimana negara mengatur atau memberikan "perlindungan" pada publik bila dilanggar atau disemena-menakan? 

Contoh ketika ada seseorang yang ditemukan meninggal di pinggir jalan, tanpa harus ada pengaduan, "negara" harus hadir memberikan perlindungan tadi dengan mengungkap mengapa meninggal, bila dibunuh orang, siapa yang melakukan dan pelakunya harus dihukum.

Proses yang harus dijalani tanpa adanya laporan tadi, melibatan sebuah sistem, yaitu sistem peradilan pidana (Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Penasihat Hukum dan Lembaga Permasyarakatan).

Jadi penanganannya secara komprehensip, bukan sekedar menangkap pelaku dan mengadili, namun tuntas sampai pada perlakuan untuk pelaku pascavonis yang diterima, untuk "dikembalikan" menjadi manusia yang baik.

Untuk terjaganya tidak semua orang bisa menghakimi pelaku zinah dan kohabitasi, dikutip dari pernyataan Wamen Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej, pihak yang dapat membuat pengaduan sebagaimana diatur dalam Pasal 417 ayat (2) adalah suami, istri, orangtua atau anaknya. Tujuan ini semua adalah sebagai pengejawantahan nilai-nilai masyarakat Indonesia dan penghormatan terhadap lembaga perkawinan.

Jadi apa yang membuat pasal ini dihebohkan? 

Cara berpikir dengan konsepsi religi, sudah jelas memberi batasan bahwa tidak memberikan ruang atas perbuatan tersebut. Nyata-nyata, ruang tadi apabila tidak "diatur" dan tetap dalam ranah privat, negara tidak hadir. Maka, apa yang disebut sebagai semakin merosotnya moral bagi generasi muda akan lepas tak terkendali (meski masalah ini bukan untuk generasi muda, yang tua-tuapun harus masuk dalam konteks ini).

Tentu kita semua boleh berpendapat, itu urusan yang "bisa dipastikan" tidak akan ada selesainya, karena pelakunya dipastikan akan mendesain sedemikian rupa modusnya. 

Upaya negara dihadirkan dalam masalah ini, sekali lagi menunjukkan bahwa negara peduli pada harkat dan martabat kemanusiaan, dalam lingkup lembaga perkawinan. Lembaga perkawinan masih dijunjung sebagai saalah satu untuk mentradisikan secara sah lahirnya generasi muda dari sebuah ikatan perkawinan.

Asas hukum pidana mengenal istilah ultimum remedium, yaitu bahwa hukum pidana sebagai upaya terakhir yang akan digunakan. Ada tatanan kesopanan, kesusilaan dan kaidah agama, yang sejatinya untuk tetap harus dikedepankan dalam memenuhi harapan tidak semakin menggejala, bahkan merebaknya masalah perzinahan dan kohabitasi tadi. 

Mungkin adagium yang tepat untuk ini adalah, bagaimana menakar diri untuk tidak jatuh pada dua hal tadi, sehingga akan menjadi budaya bangsa yang tetap menjunjung nilai-nilai kesusilaan dan agama, sebagai benteng yang kokoh dan bisa ditularkan pada generasi melalui pendidikan dalam keluarga.

Bila ini bisa berjalan, hukum biar tetap tertulis, tanpa harus ada yang menjadi pihak "terdakwa" di persidangan dengan tuntutan pasal perzinahan dan kohabitasi atau pasal sejenisnya yang jauh dari penghormatan atas lembaga perkawinan yang agung tersebut.

Salam sehat dan bahagia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun