Cara berpikir dengan konsepsi religi, sudah jelas memberi batasan bahwa tidak memberikan ruang atas perbuatan tersebut. Nyata-nyata, ruang tadi apabila tidak "diatur" dan tetap dalam ranah privat, negara tidak hadir. Maka, apa yang disebut sebagai semakin merosotnya moral bagi generasi muda akan lepas tak terkendali (meski masalah ini bukan untuk generasi muda, yang tua-tuapun harus masuk dalam konteks ini).
Tentu kita semua boleh berpendapat, itu urusan yang "bisa dipastikan" tidak akan ada selesainya, karena pelakunya dipastikan akan mendesain sedemikian rupa modusnya.Â
Upaya negara dihadirkan dalam masalah ini, sekali lagi menunjukkan bahwa negara peduli pada harkat dan martabat kemanusiaan, dalam lingkup lembaga perkawinan. Lembaga perkawinan masih dijunjung sebagai saalah satu untuk mentradisikan secara sah lahirnya generasi muda dari sebuah ikatan perkawinan.
Asas hukum pidana mengenal istilah ultimum remedium, yaitu bahwa hukum pidana sebagai upaya terakhir yang akan digunakan. Ada tatanan kesopanan, kesusilaan dan kaidah agama, yang sejatinya untuk tetap harus dikedepankan dalam memenuhi harapan tidak semakin menggejala, bahkan merebaknya masalah perzinahan dan kohabitasi tadi.Â
Mungkin adagium yang tepat untuk ini adalah, bagaimana menakar diri untuk tidak jatuh pada dua hal tadi, sehingga akan menjadi budaya bangsa yang tetap menjunjung nilai-nilai kesusilaan dan agama, sebagai benteng yang kokoh dan bisa ditularkan pada generasi melalui pendidikan dalam keluarga.
Bila ini bisa berjalan, hukum biar tetap tertulis, tanpa harus ada yang menjadi pihak "terdakwa" di persidangan dengan tuntutan pasal perzinahan dan kohabitasi atau pasal sejenisnya yang jauh dari penghormatan atas lembaga perkawinan yang agung tersebut.
Salam sehat dan bahagia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H