Menoreh Sejarah Pembaharuan Hukum Pidana
Hampir satu abad, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia. Dalam perjalanannya, diupayakan untuk dilakukan pembaharuan, di era tahun 1960-an. Seminggu yang lalu, pembaharuan tersebut teralisasi, Â yang ditandai dengan pengesahan oleh DPR-RI. Â KUHP "warisan" Belanda tersebut, hampir satu abad diberlakukan dalam hukum positif Indonesia.Â
 Bayangkan, hampir satu abad, "nilai-nilai" warisan kolonial menjadi pijakan penghukuman-pidana di negeri ini. Pembahasan yang berkelanjutan sejak tahun 1963 tadi, baru berujung dengan ketuk palu pengesahan setelah pembahasan hampir 59 tahun. Wajar bila Menteri Hukum dan HAM serta pemerhati hukum menyebutkan bahwa pengesahan tersebut sebagai sebuah prestasi anak bangsa.
Mengapa sebuah prestasi? Yang paling menonjol adalah salah satunya, berupa "penyesuaian" atau internalisasi atas ketentuan norma yang sebelumnya "belum mencerminkan" ke-indonesiaan, dengan KUHP yang baru, nilai-nilai ke-indonesia tersebut dimunculkan dan akan menjadi "penjaga marwah-nilai, budaya" yang berakar pada Filosofi Pancasila.
Sehingga karena kental dengan nilai "keindonesian" ini, masalah perzinahan, kumpul kebo dan sejenisnya yang "konon" dipermasalahkan oleh sekelompok orang bahkan badan dunia dan negera asing ikut "menyentil" penerapan pasal-pasal tersebut. Ironisnya ada juga yang berpendapat, masalah tadi, sebagai masalah "privat" yang tidak perlu diatur oleh negara. Tentu akan muncul pro dan kontra, setiap adanya "perubahan". Memang seperti itu, setiap perubahan pasti akan ada resistensi dengan beragam pendapat dan argumentasinya.
Pemikiran yang perlu didukung adalah bahwa pembahasan pasal-pasal dalam KUHP yang "belakangan" diperdebatkan, sejatinya juga sudah "diperdebatkan" dengan memperhitungkan masukan, telaah akademik, pendapat pakar dari berbagai sudut kajian, sehingga waktu hampir 59 tahun sejak ide pembaharuan direncanakan, selalu memunculkan pro dan kontra, sampai akhirnya terinternalisasikan dalam konsep yang akhirnya disetujui dan disahkan seminggu yang lalu.Â
Jadi, sangat disayangkan bila pendapat yang kontra atas beberapa pasal dalam KUHP, 'berlari" pada penuduhan, sebagai pasal yang tiba-tiba atau adanya kepentingan tertentu. Dalam skala kepentingan "menjaga" marwah kebangsaan dan jati diri bangsa.Â
Sebagaimana untuk dimafhumi bersama, dalam beberapa pendapat para pakar seperti sepakat perlunya pembaharuan KUHP demi alasan filosofis tadi dan  alasan politis, sebagai negara merdeka yang berdaulat untuk mempunyai KUHP Nasional hasil pemikiran anak bangsa. Sebagai sebuah pemikiran, wajar saja bila pihak-pihak "tertentu" merasa gerah dengan beberapa pasal yang sudah disahkan tersebut. Pertanyaannya sekarang adalah, mengapa pada saat "pembahasan" tidak diajukan usulan atau kajian yang menurut mereka sebagai hukum yang ideal?Â
Sebagaimana disampaikan di awal, sejak awal ide pembaharuan sampai dengan pengesahan, melalui beberapa kali tahap pembahasan dan setiap episode pembahasan tersebut melibatkan tidak hanya pakar hukum, namun pakar yang bisa memberikan argumentasi dan filosofi-nya.
Meski demikian, penilaian bahwa potensi akan adanya kriminalisasi hingga mengancam  kebebasan dalam berdemokrasi menyeruak dalam beberapa hari pascapengesahan. Beberapa pasal tersebut sebagaimana disarikan dari berbagai sumber sebagai berikut : 1. Penghinaan Terhadap Presiden, 2.  Pasal tentang Makar, 3. Penghinaan Lembaga Negara, 4. Demo Tanpa Pemberitahuan, 5. Berita Bohong, 6. Pengurangan hukuman Koruptor  7. Pidana bagi pelaku kumpul kebo, 8. Penyebaran ajaran komunis, 9. Pidana terkait santet dan Vandalisme serta masalah hukuman mati, HAM dan Living Law.
Mengharap kesempurnaan sebuah produk hukum yang merupakan produk manusia, sepertinya hanya sebuah impian. Karena hakikatnya kesempurnaan semata adalah milik Tuhan. Dalam konteks ini, mungkin bisa menjadi renungan kita semua Droil ne done, pluis que soit demaunde (hukum memberi tidak lebih dari yang dibutuhkan).Â
Jadi terima begitu saja KUHP yang sudah disahkan? Sembari biar itu berlalu, yang lebih utama adalah "orang-orang" yang akan menjalankan hukum tersebut. Akankah ia bisa "menafsirkannya" untuk sebuah keadilan, atau sebuah kepentingan. Ini saja.
Salam Anti Korupsi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H