Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismilah, Menulis tentang : - Korupsi dan Bunga Rampai (2022) - Korupsi (2023) - Hukum dan Korupsi (22 Oktober 2024 sd. sekarang) - Sebelum aktif di Kompasiana (2022), menulis di Jawa Pos, Suara Merdeka, Tribun dan Beberapa Media Internal Kepolisian. (Masuk Dalam Peringkat #50 Besar dari 4.718.154 Kompasianer Tahun 2023)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Di Argo Sindoro, Sebuah Ibrah

4 Desember 2022   05:32 Diperbarui: 4 Desember 2022   13:59 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rabu sore, jam 16.  lebih sekian menit, ular besi raksasa bernama Argo Sindoro, jurusan Gambir - Semarang mulai bergerak perlahan. Meninggalkan Monas yang nampak kokoh di belakang sana. 

Penumpang tidak begitu penuh, tidak tahu nanti kalau dipemberhentian stasiun Cirebon atau Pekalongan akan bertambah. Kereta kelas eksekutif itu, terasa nyaman interiornya. Warna cover jok yang cerah, membuat matapun segar melihatnya.

Saya duduk di salah satu kursi di gerbong Argo Sindoro tersebut. Beberapa menit kereta berjalan, terdengar sound dari masinis yang menyuarakan indtroduksi crew, rute perjalanan kereta, estimasi waktu perjalanan, hingga menyebut " bila ada sesuatu" bisa menghubungi masinis, dengan harapan penumpang merasa nyaman selama perjalanan. 

Tampilan "hiburan" pada monitor TV, sepertinya sudah "ala kadarnya", tidak seperti awal Argo Sindoro beroperasi. Suara sudah tidak terdengar, gambar dan tema yang ditayangkan hanya itu-itu saja, dalam beberapa bulan hampir satu tahun perjalanan dengan kereta tersebut, nyaris tidak tergantikan tema seperti itu.

Penumpangpun beraneka perilaku. Ada yang duduk tenang, sembari mata terpejam. Duduk santai, menikmati rute perjalanan. Sampai pada akhirnya sekira satu jam perjalanan, ketika kaki mulai merasakan pegal karena tidak leluasa seperti di rumah, mulai muncul "gelagat" yang membuat tidak nyaman saya. 

Penumpang di sebelah saya, seseorang yang masih muda (tanpa saya sebut lelaki atau perempuan), mulai "jengah. Ia yang dari awal asyik dengan gadgetnya, mulai menaikan kaki di kursi. Kaki kanan atau kiri bergantian. Saya hanya menarik nafas saja.

Sah saja seperti itu. Ia duduk di situ dengan membayar, kelas eksekutif lagi. Tapi kalau itu (dari prespektif saya, tentunya), saya tidak melakukannya. Kaki saya akan tetap saya pertahankan pada "tempatnya"nya, toh sudah disediakan sandaran kaki? 

Kenapa harus ditempatkan sejajar dengan badan? Di angkat di kursi danyang ada disebelahanya adalah "orang lain?" Yang kurasakan, perjalanan yang mestinya nyaman, sungguh sangat tidak nyaman. Atau mungkin saya yang terlalu sensi saja? Atau mind set saya terkait budaya berbeda dengan "orang di sebalah saya tersebut? " Kalau ukuran yang dipakai berbeda, tentu narasi perasaan orangpun akan berbeda-beda pula. 

Ada yang tidak perduli dengan kondisi seperti itu. Tapi yang jadi masalah adalah, biasakah kita "beradaptasi dengan lingkungan? Seringkali, apa yang kita perbuat, menjadi bahan "perasaan" orang lain. Apa yang kita lakukan "sesuka-saya", belum tentu bisa diterima orang lain. Maka bagaimana?

Karena itu berada dalam fasilitas umum, saya ingin pada pihak KAI, mungkin bisa "menyinggung" masalah ini, pada saat masinis menyuarakan himbauan saat awal perjalanan, di tengah perjalanan atau momen tertentu dengan "bahasa" yang bisa halus tentunya. Bukankah masinis dalam sound menghimbau agar penumpang tidak ini, tidak itu. Seperti larangan merokok, menghimbau tidak banyak cakap (terkait penularan Covid-19). 

Apa salahnya misalnya ditambah, untuk kenyamanan bersama, penumpang yang terhomat, menghargai kenyamanan sesama penumpang untuk duduk dengan sopan, tidak mengangkat kaki di luar sandaran kaki yang tersedia atau dengan bahasa lain.

Keperdulian ini bukan hanya menjadi sebuah "aturan", namun akan mengingatkan masing-masing penumpang secara pribadi, dimanapun berada, tetap harus dalam komitmen "menjaga" kenyaman orang lain, tanpa harus "kita berbuat-semaunya. "

Keretapun terus berjalan, dan sepanjang perjalanan Gambir Jakarta menjadi "kurang nyaman" atas "kaki" di sebelah saya yang terangkat hingga kursi di sebelah saya. Kaki tersebut milik "seseorang" yang sekilas dari penampilannya bukan dari "kalangan bawah", namun bagi saya, sikap respek padanya hilang padanya dan tidak sepatah katapun terucap dari mulut saya, termasuk kebiasaan saya untuk sekedar say hello ataupun "pamit" pada penumpang di sebelah, saat akan turun duluan di stasiun di mana saya harus turun, yaitu stasiun Pekalongan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun