Mohon tunggu...
HERIE FENDI
HERIE FENDI Mohon Tunggu... -

My words, My world.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kebebasan yang Kebablasan

29 Januari 2016   11:43 Diperbarui: 29 Januari 2016   12:10 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Masih hangat rasanya jika kita kembali kepada beberapa kajian yang menyarankan agar sinetron-sinetron yang dirasa mengganggu siswa kaitannya dengan waktu penayangan yang akhirnya menyita jam belajar siswa, maupun isi cerita yang kebanyakan lebih mengedepankan sisi-sisi hedonis daripada mengarahkan pola pikir pemirsa utamanya siswa untuk termotivasi dalam meningkatkan prestasi akademis. Bagaimana tidak menyesakkan ketika kita melihat kenyataan di lapangan, para siswa terimitasi oleh tingkah polah para artis, lalu kita saksikan “anak-anak jalanan” dalam dunia nyata kebut-kebutan di sepanjang jalan ditambah dengan aksi-aksi ekstrimnya.

Tidak kalah bahayanya, akhir–akhir ini kita dijamu dengan mencuatknya kembali berita yang telah beberapa lama “meredam”, LGBT, yang dikabarkan telah merambah ke pelosok-pelosok negeri dan menyasar anak-anak dibawah umur.

Satu kata saja, Miris. Melihat bumi pertiwi dengan segala keelokan, keindahan dan keramahannya dikotori dengan budaya-sampah semacam ini. Ya, saya menyebutnya budaya karena ini memang tidak selaras dengan adab, norma, dan budaya ketimuran yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai sosial dengan menempatkan posisi masing-masing gender pada tempat sesuai kodratnya.

Namun daripada itu tentu, sudah menjadi kewajiban kita sebagai warga negara yang beradab dan menjunjung tinggi norma, insan beragama yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai sila pertama Pancasila, maupun sebagai sosialita yang menjunjung tinggi hak-hak sesama manusia, untuk membentengi jati diri bangsa, kemuliaan agama, maupun jiwa raga sebagai amanah Sang Pencipta dari tindakan-tindakan abnormal semacam itu.

 

Makhluk Sosial Itu Bersusila, BUKAN asusila

Cukup ringkas saja kiranya untuk menjelaskan bagaimana kita harus memandang kebebasan sosial tanpa pernah menghilangkan hak manusia lainnya maupun menghina diri sendiri dengan salah satu kutipan yang disampaikan oleh Bapak Menristek kita bahwa "LGBT ini tidak sesuai dengan tataran nilai dan kesusilaan bangsa Indonesia. Saya melarang. Indonesia ini tata nilainya menjaga kesusilaan," kata Nasir saat dihubungi detikcom lewat telepon, Minggu (24/1/2015) pagi. Begitu kalimat beliau sesuai yang tertera pada laman detik[dot]com.

Saya sengaja mengambil pendapat dari seorang Menristek agar tidak terjadi pengkhususan terkait pandangan mayoritas agama tertentu jika yang saya kutip adalah arahan dari Menag atau fatwa MUI. Bukan juga Mendikbud yang lebih melihat dari sisi pendidikan yang mengacu pada harus ditingkatkannya kepedulian dan perhatian orang tua terhadap perkembangan pendidikan, psikologi, maupun lingkungan tempat belajar putra-putrinya. Maupun pendapat-pendapat senada yang pada dasarnya ingin menyadarkan kepada semua pihak agar mewaspadai atau mencegah tindakan menyimpang itu.

Pendapat tersebut kiranya bisa mengakomodir pandangan beberapa pihak yang memunculkan berbagai argumentasi terkait permasalahan ini. Pro dan kontra dengan berbagai alasan pemikiran yang melatarbelakanginya. Karena entah diakui atau tidak toh tidak sedikit pula ternyata anak bangsa yang mengaku dengan intelejensi tingginya menganut azas kebebasan mutlak yang menjadikan otaknya sebagai pusat, menunggangi post-modernisasi lalu melegalkan kebebasan tanpa batas, bahkan sampai berani mengatasnamakan hak asasi manusia yang sejatinya itu adalah keputusan menentang HAM itu sendiri dengan mengatakan “Menjadi homo atau enggak itu pilihan gue, loe gak usah ikut campur.”

Bagaimana tidak melanggar HAM, Indonesia ini adalah Negara hukum yang berlandaskan Pancasila, sedangkan Pancasila itu sendiri diawali oleh Ketuhanan yang Maha Esa, dan ajaran-ajaran Tuhan itu termaktub dalam kitab-kitabnya yang dari sekian banyak kitab-Nya itu tidak ada satu ayatpun yang membolehkan seseorang menjadi Lesby, Gay, Bisexual, dan Transgender. Jangankan membolehkan, yang ada malah melaknat itu semua.

 

Peduli, BUKAN Antipati

Masih sebagai makhluk sosial, sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk melindungi hak orang lain sebagaimana hak kita untuk mendapatkan perlindungan dari orang lain pula. Selain itu, kewajiban kita pula untuk melindungi diri dan keluarga maupun orang-orang yang berada dalam perlindungan kita dari tindakan menyimpang itu. Maka bentuk kepedulian dalam hal ini adalah melindungi bukan membiarkan kebebasan yang kebablasan itu sendiri, dalam arti kitapun berkewajiban melindungi orang lain dari efek buruk tindakan asusila ini dengan cara-cara yang santun dan bijak tentunya.

Ada yang mengatakan bahwa menjadi LGBT itu bukan pilihan tapi keterpaksaan, sehingga muncullah berbagai tawaran untuk penyembuhan.  Ada juga yang menganggap itu sebuah kebanggaan, sehingga lahirlah berbagai komunitas yang diperjuangkan. Namun apapun modusnya, itu semua harus kita sepakati sebagai sesuatu yang abnormal jika kita kembalikan kepada hukum alam yang telah berjalan sebagaima yang telah terjelaskan diatas.

Saya tidak ingin terlalu jauh membahas fenomena ini sampai ke ranah agama dengan membuka sejarah lalu menyeruakkan fakta-fakta ilmiah tentang cerita kaum Sodom, maupun tokoh gereja dunia yang mengaitkan AIDS dengan kebiasaan-kebiasaan seks menyimpang; tinjauan kesehatan yang menjelaskan tentang penyakit-penyakit berbahaya yang ditimbulkan oleh kegiatan penyalahgunaan alat vital; maupun gejolak sosial yang disebabkan oleh tindakan-tindakan asusila yang memang tidak sejalan dengan adab dan norma ketimuran. Kalau ukurannya penulis sebagai individu, ya saya malu kalau ada anggota keluarga saya yang menjadi LGBT.

         

Bagaimana Jika

Mengatasnamakan takdir, keterlanjuran, dan menyalahkan Tuhan tentu bukanlah jawaban. Justru jauh dan semakin dujauhkannya kita dengan agama itulah yang menjadikan bobroknya moral generasi penerus bangsa di semua lini. Ditambah gampang dirasukinya wilayah keyakinan dengan pemikiran-pemikiran keren ala intelektualis-intelektualis baru zaman sekarang, mengusung konsep kekinian yang disebut update dengan perkembangan zaman, sampai mengatakan kalau Al-quran lah yang perlu diselaskan dengan zaman, bukan sebaliknya. Parah.

Terakhir, bagi para LGBT, pemerhati, pendukung, partisipan, dansejenisnya,  saya ingin mengajukan pertanyaan sederhana yang sangat tidak ilmiah. Beberapa saja:

- Relakah anda, jika putri anda menjadi lesbi dan putra anda menjadi homo?

- Ikhlaskah anda, jika adik/kakak perempuan, bibi, nenek anda menjadi lesbi dan adik/kakak laki-laki, paman, kakek anda menjadi homo?

-  Banggakah anda, jika ibu kalian seorang lesbian dan ayah anda seorang homoseks?

Sekian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun