Mohon tunggu...
Heribertus Binawan
Heribertus Binawan Mohon Tunggu... Dosen - Pengamat Pendidikan dan Seni

Lahir di lereng Gunung Merapi di keluarga guru SD yang sederhana. Suka menulis apa saja sesukanya. Senang bertemu siapa saja. Semoga segala kebaikan untuk ANDA hari ini..!!!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Nyanyi Sunyi, Tembang Malam

4 Agustus 2018   14:05 Diperbarui: 4 Agustus 2018   23:00 1275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (pixabay - ekohernowo)

Tigan ayam kampung soho sawernining lawuh lan jangan, minongko wujuding sedoyo pemanggih lan pangajeng-ngajeng badhe tansah langgengipun sedoyo kasaenan nDalem Gusti tumraping manungso lan sedoyo titah. Mugi kawulo tansah linuberan kamirahan, tansah paring pangapunten dateng sedoyo kalepatanipun tiyang sanes, tebih saking raos dendam kesumat. Lan mugi-mugi samangke awit saking sedoyo kamirahan nDalem, kepareng tigan meniko netes saenggo saget numusi menopo ingkang dados panjangkung lan panyuwun kawulo.

Sedoyo ubo rampe lan kekeran ingkang mboten sampurno mugi Gusti kerso nampi kanthi asto tinarbuko kadyo pletheking srengenge ing wayah enjing ingkang tansah manjer manjing ajur ajer dados setunggal kaliyan wadag, sukmo, niat, raos lan batos kawulo. Bar..babarr...dadosa sedoyo binabar enggal! Amin. Amin. Amin. 

***

Slapp!!! Sebuah kilatan cahaya menyambar. Sayup-sayup suara azan menyahut syahdu. "Dimanakah aku?", tanya si bocah.   

Hari sudah beranjak pagi. Hangat sinar matahari. Samar terlihat sebentuk bilik bambu. "Bukankah ini rumah?", gumamnya heran. Sebab kemarin berjalan bersama nenek ke hutan naik gunung. Mengenakan baju seragam pramuka dan celana merah upacara. Seingatnya mereka sampai di sana lalu berdoa dengan segala ritualnya. Mengapa? Mengapa?

Sebentar kemudian ia keluar bilik, ingin menemui neneknya. Ia beranjak lalu berlari ingin tahu neneknya kini. Ia ingin berteriak memanggil sebelum akhirnya didapatinya si nenek merajang sayur dan meracik bumbunya.

"Nenek?" sapanya. Sang nenek meletakkan pisau dapurnya, lalu berpaling mendapati cucunya. Lalu ia tersenyum sambil menjawab singkat,"Apakah kamu lupa nenek ini siapa?".

Canda tawa pecah. Tertawa lepas mereka berdua. Ya, hidup adalah nafas dan nafas tak pernah dipertanyakan. Dijalani dengan riang. Disyukuri dengan sepenuh hati. Wassalam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun