***
Setelah melalui deretan pepohonan rimbun, kurang lebih satu jam perjalanan lamanya, sampailah mereka di tanah datar pertama. Bulan menjadi satu-satunya cahaya. Gerumbul pepohonan seolah menjadi kawan seperjalanan. Gerumbul itu seolah berkedip, bergumam kadang pula tersenyum memandang dua manusia yang sedikit memacu langkahnya.
Nenek menghentikan langkah, memejamkan mata, merentangkan tangannya. "Berhenti sejenak." Katanya singkat.
Di sebuah gundukan tanah, terlihat bongkah batu sebesar meja tamu. Di atas batu itu terlihat sisa pemberian bunga terakhir. Sudah mulai layu dan mengering. Disingkirkannya bunga kering itu ke sisi kiri saja. Tidak dibuang. Sepertinya bagi si nenek, tak ada suatu barang pun yang layak untuk dibuang.
Lalu dibukanya bungkusan kain putih, segera diambilnya sebutir bunga kantil kuning, sedikit melati dan beberapa mawar putih. Nenek itu kemudian membungkuk, memberi hormat kepada 'penjaga gerbang'.Â
Si anak terpejam dengan tampah tetap di kepalanya. Ia tidak menunjukkan rasa heran atau cemas atas apa yang dilakukan neneknya. Bahkan sepertinya, ia tak pernah ingin bertanya tentang siapa yang diajak bicara oleh neneknya itu. Baginya, semua kejadian itu adalah nafas hidupnya. Bukankah nafas tak pernah dipertanyakan? Ia ada.. selalu ada... tetap ada... dan begitulah ia dan nenek itu.
Memang jarang manusia berani merambah hingga ke tanah datar itu. Sebab di sana konon ada seekor macan penunggu batu. Macan itu bentuknya seperti macan pada umumnya, hanya saja ada bercak warna kuning disamping warna hitam dan coklat atau putih.Â
Menurut cerita, macan itu sesekali berkunjung ke pemukiman warga. Bukan untuk mencari mangsa. Hanya sekedar menjaga keamanan layaknya prajurit penjaga kota. Namun ini di desa atau gunung, maka macanlah prajurit penjaga desa. Â
Selesai menaruh sesaji bunga, nenek itu menanyai cucunya. Barangkali ia haus atau lapar. Senyum seringai sang cucu tanda ia tak keberatan tanpa itu semua. Nenek tersenyum tipis. Kepalanya sedikit menggeleng. Tersirat rasa sayang dan damba tak terhingga; cucunya kelak menjadi penggantinya.
Setelah mengambil nafas dalam-dalam sebanyak beberapa kali. Lalu nenek bergegas kembali ke jalan setapak. Bersama mereka berjalan. Kali ini tidak depan belakang. Meski jalan sempit, mereka beriringan kiri dan kanan.Â
Tergurat rasa yang mendalam di antara mereka berdua. Saling senyum, saling menepuk. Lalu nenek itu tersimpuh, dirangkulnya si cucu, dicium pelupuk dahinya beberapa kali. Sungguh kesayangan!