Mohon tunggu...
Heri Wijayanto
Heri Wijayanto Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mari Belajar Kemanusiaan dari Sosok Mantan Preman

8 Januari 2016   04:03 Diperbarui: 8 Januari 2016   04:03 1812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keajaiban dalam diri Cuani terjadi. Cuani mengaku bahwa ketika ia hendak dikeluarkan oleh ayahnya, ia sempat menolak. Hanya karena alasan ada temannya yang mau menikah, Cuani mau untuk keluar. Bahkan sebelumnya Cuani sempat terbesit untuk membayar semuanya di ranah hukum. “Itung-itung tebus dosa.” jelasnya.

“Jujur, bahkan bapak saya kaget pas tau kalau saya nyaman di pesantren dan mau masuk pesantren saja,” kata Cuani. Sejak saat itu kehidupan bapak empat anak itu mulai berubah sedikit demi sedikit. Bahkan orang-orang disekitarnya mulai kagum dan menghormatinya. Memang tidak mudah untuk memulai kehidupan baru. Cuani mengaku bahwa ia sering jatuh bangun dalam kehidupannya. Ia juga sering pindah-pindah pondok pesantren untuk mencari lingkungan yang lebih nyaman.

Seiring waktu berjalan, pengetahuan dan kewibawaannya mulai terlihat. Cuani mulai senang mempelajari literatur bahasa arab. Bahkan ia selalu memakai baju koko hingga masyarakat sering menganggapnya kyai.

Seolah masa lalu masih menghantuinya, Cuani masih beberapa kali ditangkap atas tuduhan psikotropika hingga ada unsur PKI pada tahun 1992. Bahkan pada tahun 1996 Cuani pernah dituduh sebagai tersangka pembunuhan wartawan Bernas. Namun semua tuduhan tersebut tidak terbukti bersalah dan kehidupan Cuani di pesantren berlanjut.

Dalam perjalanannya untuk mencari Tuhan, Cuani menulis buku tentang perjalanan panjangnya dari lubang hitam ke tempat yang lebih terang. Ketika masih di dalam penjara, Cuani menulis tiga judul tulisan, yakni: “Sholatku di Penjara”, “Senyumku di Penjara”, dan “Baju Celana Jeansku Dipotong di Penjara”. Kemudian pengalaman ketika kebiasaannya memakai baju koko menyelamatkannya dari berbuat buruk, Cuani kembali menulis buku berjudul “Baju Menyelamatkan Hidup Saya”.

Cerita perjalanan hidup yang inspiratif tersebut bahkan sempat akan diangkat menjadi sebuah film pada 1991 oleh seorang produser dari Jakarta, namun Cuani menolaknya.

“Biarlah cerita saya ini tenggelam. Jangan sampai anak cucu mendengar cerita yang tidak baik ini. Berat rasanya untuk cerita mengenai itu, berat sekali.” ujar Cuani menahan air matanya.

Sekarang pria yang bekerja menjadi tukang parkir ini sudah lebih tenang. Dia mengaku tidak pernah menjadi baik dan tidak pernah lebih baik. Ia mengaku tidak butuh apresiasi dari orang lain.

“Kalau dulu saya belum bersama Tuhan, sekarang saya sudah kenal sama Tuhan. Saya yakin banget sama Tuhan. Dia hebat sekali. Dialah yang bikin skenario tentang hidup saya,” ujar Cuani.

Mungkin akan ada orang lain yang masih melihatnya kotor. Dan akan ada orang yang melihatnya sebagai Ustadz, Kyai, Ulama atau siapapun yang dihormati banyak orang. Tidak. Cuani bukanlah sosok inspiratif kemanusiaan. Ia juga bukan orang berpendidikan tinggi yang bisa mengajarkan banyak hal.

Cuani berkata bahwa ia tidak mau orang lain berpikir berlebihan tentangnya. Ia hanyalah orang biasa yang tercerahkan dan mengambil jalan yang telah ditentukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun