Mohon tunggu...
Heri Wijayanto
Heri Wijayanto Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mari Belajar Kemanusiaan dari Sosok Mantan Preman

8 Januari 2016   04:03 Diperbarui: 8 Januari 2016   04:03 1812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Selamat tinggal Jogja, suatu saat saya akan kembali lagi.” Mungkin kata-kata terakhir sebelum meninggalkan kampung halamannya inilah yang memberikan Cuani keberanian untuk melangkah dan memperbaiki segala kesalahannya di masa lalu.

Zudan Ahyar Cu’usmani yang akrab dipanggil Cuani ini merupakan mantan ketua preman yang menguasai kota Yogyakarta pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto. Ia memiliki peran yang sangat berpengaruh terhadap dunia prostitusi hingga obat-obatan terlarang yang beredar waktu itu. Bahkan sempat ia keluar-masuk penjara dan rehabilitasi hingga pernah dijebloskan ke RSJ.

Cuani tinggal di Desa Sareyan, Imogiri Timur, Bantul, Yogyakarta. Pada mulanya, pria kelahiran Yogyakarta, 42 tahun yang lalu ini sangat terkenal dan dihormati banyak preman yang ada di Jogja. Lalu lintas dunia bawah tanah pada masa orde baru waktu itu memang lagi besar-besarnya sehingga tidak mengherankan jika banyak premanisme yang merajalela. Menurut Cuani, kenakalan remaja dan aksi premanisme yang terjadi tersebut sebagian besar disebabkan karena lingkungan keluarga yang kurang harmonis atau faktor ekonomi. Sehingga menurutnya, para remaja lebih senang menghabiskan waktunya diluar rumah untuk sekedar happy.

“Agar bisa happy, maka orang harus mencari suatu alat agar tetap membuat orang itu happy. Pelariannya ya narkoba,” ujar Cuani ketika diwawancarai di rumahnya. Ia mengatakan bahwa dengan obat-obatan tersebut, Cuani dengan senang hati akan menjerumuskan banyak orang, mulai orang-orang biasa hingga anak pejabat sekalipun.

Cuani sudah berkali-kali keluar-masuk penjara karena tersangkut kasus tertentu, walaupun sebagian kasus tidak terbukti bersalah. Pertama, Cuani pernah masuk rehabilitasi di Puri Nirmala sebagai pemakai narkotika selama 1 bulan. Kemudian pada bulan September 1989, ia masuk rehabilitasi di Suralaya, Winabah. Bahkan pada tahun 1993 Cuani pernah dituduh dan ditangkap sebagai anggota PKI.

Dalam perjalanan hidupnya setelah meninggalkan Yogyakarta, Cuani sudah berkeliling pulau Jawa ke berbagai daerah untuk mencari pertolongan. Dari kyai satu ke kyai yang lain. Dari tokoh satu ke tokoh lain. Namun tidak ada yang bisa membantu. Rehabilitasi dari pemerintah pun juga sudah terlalu sering ia jalani.

Hasrat untuk bertaubat sudah diputuskannya matang-matang. Cuani berusaha sekuat tenaga untuk tidak berkelahi, tidak mabuk-mabukan, dan meninggalkan semua kebiasaan buruknya di masa lalu. Seolah pintu taubat sudah benar-benar tertutup, Cuani serasa mendapatkan siksa dunia terhadap kebingungan yang luar biasa yang tidak seorangpun bisa menjawabnya. Ia merasa kebaikan apapun yang dilakukannya akan selalu salah di mata orang lain.

Cuani melihat bahwa dunia sudah meninggalkannya. Keluarga, pemerintah, dan masyarakat sudah tidak percaya lagi dengannya. Kebingungan Cuani untuk menjalani hidup seperti apa menjadi pertanyaan tersulit untuk dijawab.

Berbagai cobaan sudah menjadi makanan sehari-hari Cuani, mulai dari keluar-masuk penjara dan rehabilitasi, ditabrak sampai hampir meninggal, ataupun penolakan masyarakat yang akan menghadang dan mengeroyoknya setiap saat. Semua nasihat mulai dari kyai, pemerintah, keluarga, hingga masyarakat luas juga sudah pernah dijalankannya, namun apa daya dunia itu sudah tidak cocok lagi baginya.

Akhirnya sebuah dunia yang mungkin benar-benar akan mengubah hidupnya adalah pesantren. Semua itu bermula ketika Cuani terlibat kasus di Umbulharjo dan masuk penjara selama satu bulan lebih.

“Pada saat itu ada maling yang dijebloskan di satu sel dengan saya, terus nggak tau kenapa dia saya pukuli. Dan diakhir cerita, si maling itu malah cerita-cerita tentang keluarga, sampai-sampai ngomongin (Sunan) Kalijaga,” ujar Cuani. “Setelah itu saya jadi kepikiran. Hati saya tersentuh dan akhirnya saya meminta si maling itu untuk ngajarin saya Sholat,” lanjutnya.

Keajaiban dalam diri Cuani terjadi. Cuani mengaku bahwa ketika ia hendak dikeluarkan oleh ayahnya, ia sempat menolak. Hanya karena alasan ada temannya yang mau menikah, Cuani mau untuk keluar. Bahkan sebelumnya Cuani sempat terbesit untuk membayar semuanya di ranah hukum. “Itung-itung tebus dosa.” jelasnya.

“Jujur, bahkan bapak saya kaget pas tau kalau saya nyaman di pesantren dan mau masuk pesantren saja,” kata Cuani. Sejak saat itu kehidupan bapak empat anak itu mulai berubah sedikit demi sedikit. Bahkan orang-orang disekitarnya mulai kagum dan menghormatinya. Memang tidak mudah untuk memulai kehidupan baru. Cuani mengaku bahwa ia sering jatuh bangun dalam kehidupannya. Ia juga sering pindah-pindah pondok pesantren untuk mencari lingkungan yang lebih nyaman.

Seiring waktu berjalan, pengetahuan dan kewibawaannya mulai terlihat. Cuani mulai senang mempelajari literatur bahasa arab. Bahkan ia selalu memakai baju koko hingga masyarakat sering menganggapnya kyai.

Seolah masa lalu masih menghantuinya, Cuani masih beberapa kali ditangkap atas tuduhan psikotropika hingga ada unsur PKI pada tahun 1992. Bahkan pada tahun 1996 Cuani pernah dituduh sebagai tersangka pembunuhan wartawan Bernas. Namun semua tuduhan tersebut tidak terbukti bersalah dan kehidupan Cuani di pesantren berlanjut.

Dalam perjalanannya untuk mencari Tuhan, Cuani menulis buku tentang perjalanan panjangnya dari lubang hitam ke tempat yang lebih terang. Ketika masih di dalam penjara, Cuani menulis tiga judul tulisan, yakni: “Sholatku di Penjara”, “Senyumku di Penjara”, dan “Baju Celana Jeansku Dipotong di Penjara”. Kemudian pengalaman ketika kebiasaannya memakai baju koko menyelamatkannya dari berbuat buruk, Cuani kembali menulis buku berjudul “Baju Menyelamatkan Hidup Saya”.

Cerita perjalanan hidup yang inspiratif tersebut bahkan sempat akan diangkat menjadi sebuah film pada 1991 oleh seorang produser dari Jakarta, namun Cuani menolaknya.

“Biarlah cerita saya ini tenggelam. Jangan sampai anak cucu mendengar cerita yang tidak baik ini. Berat rasanya untuk cerita mengenai itu, berat sekali.” ujar Cuani menahan air matanya.

Sekarang pria yang bekerja menjadi tukang parkir ini sudah lebih tenang. Dia mengaku tidak pernah menjadi baik dan tidak pernah lebih baik. Ia mengaku tidak butuh apresiasi dari orang lain.

“Kalau dulu saya belum bersama Tuhan, sekarang saya sudah kenal sama Tuhan. Saya yakin banget sama Tuhan. Dia hebat sekali. Dialah yang bikin skenario tentang hidup saya,” ujar Cuani.

Mungkin akan ada orang lain yang masih melihatnya kotor. Dan akan ada orang yang melihatnya sebagai Ustadz, Kyai, Ulama atau siapapun yang dihormati banyak orang. Tidak. Cuani bukanlah sosok inspiratif kemanusiaan. Ia juga bukan orang berpendidikan tinggi yang bisa mengajarkan banyak hal.

Cuani berkata bahwa ia tidak mau orang lain berpikir berlebihan tentangnya. Ia hanyalah orang biasa yang tercerahkan dan mengambil jalan yang telah ditentukan.

Sebagai kalimat penutupnya, Cuani menyampaikan bahwa ia tetap dan hanyalah orang biasa dengan masa lalu yang suram, meskipun dari sanalah Cuani belajar dari kesalahan di masa lalu. Cuani belajar tentang Tuhan dan agama, namun ia tidak ingin dilebih-lebihkan. Ia sosok orang yang suka belajar dan mengajarkan kepada orang lain, dan akan berjalan di jalan Tuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun