Mohon tunggu...
Heri Prabowo
Heri Prabowo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hampir 50

lagi belajar jadi penulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kisah Anak-anak Kampus STAN di Era 90-an

3 April 2016   10:33 Diperbarui: 3 April 2016   11:02 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Lintas Publishing"][/caption]“ Kampus STAN  benar-benar sekolah yang murah hati. Kami tak dipungut sepersenpun untuk mendaftar ulang. Setelah seluruh proses adminstrasi selesai, kami diminta ke bagian senat. Disana kami baru diminta membayar 170 ribu. Pos terbesar untuk cicilan biaya wisuda sebesar 85 ribu. Sisanya untuk jaket almamater, kaos, majalah dan iuran senat dll. Luar biasa kampus ini. Baru mendaftar ulang sudah membayar biaya wisuda”

Inilah penggalan kisah empat anak muda yang begitu bersemangat ingin mendaftar Sekolah Tinggi Akutansi Negara ( STAN ) Jakarta. Sebuah kampus yang yang menjadi dambaan banyak lulusan SMA/SMU masa itu karena tidak hanya gratis bahkan mendapat gaji di tingkat II. Padahal kata orang tidak ada yang gratis di Jakarta. Tapi STAN dengan rasa kekeluargaan yang kuat di antara para mahasiswanya bahkan menawarkan lebih dari kuliah gratis. Sejumlah rumah kontrakan para mahasiswa memberikan fasilitas tinggal dan makan gratis untuk para mahasiswa baru.

Tak heran seorang anak tukang becak pun mampu kuliah di kampus ini. Juga ribuan anak-anak rantau dari pelosok desa di seluruh penjuru negeri. Sebab kuliah di kampus ini hanya butuh otak, niat dan tekad. Toh, STAN juga memikat anak-anak dari kalangan mampu untuk berkuliah. Mereka bersahabat tanpa sekat. Menanti datangnya rapelan gaji yang tak kunjung datang.

Tapi ketika rapelan gaji akhirnya turun, dan jumlahnya jutaan ( nilai yang besar ketika itu ) maka uang itu di tranfer di sebuah Bank BUMN yang berlokasi di Blok M. Bayangkan ada ratusan mahasiswa harus membuka rekening dan mengambil uang, Lalu mereka berhamburan berbelanja di semua supermarket di Blok M.

Maka Blok M pun dibuat heboh oleh anak-anak STAN. Bank rela buka hingga petang demi melayani mereka. Para pelayan toko menyambut mereka dengan sapaan ramah  “ Anak STAN ya” . Sebab mereka siap berbelanja banyak barang bukan untuk sekedar diri sendiri tapi membelikan oleh-oleh ayah, ibu, adik, kakak jika perlu kakek, nenek dan keponakan yang ada di kampung halaman.

Toh tak semuanya berpesta. Ada yang harus menebus cincin nikah orang tuanya yang terlanjur digandaikan untuk biaya kuliah. Juga membayar hutang kepada kakak kelas yang selama ini “membiayai kuliahnya “. Ada juga yang bershodaqoh dengan penuh kerendahan hati dengan membungkus uang ratusan ribu dalam uang kertas ratusan rupiah lusuh ( pada masa itu kedua uang itu mirip sama-sama merah hanya berbeda ukuran, bahan dan tentu gambarnya ).

Kampus STAN menawarkan begitu banyak cerita. Warga kampung yang pesta petasan dan memasang layar tancap saat ujian tiba. Mereka dengan seenaknya ikut menyelonong main saat pertandingan seoak bola kampus berlangsung.

Ada dosen bonus hingga dosen killer yang tega men-DO- separuh kelas.

Dari Mahasiswa nyaris selalu ber IP 4,0 hingga mahasiswa ranking 1 yang hafal Al Qur’an. Dari mahasiswa yang kerap tidur di pojok kelas hingga mahasiswa yang DO gara-gara membolos demi sekedar menonton serial telenovela.

Kampus yang halamannya dipenuhi kambing berkeliaran hingga membuat pejabat kampus kesal. Lalu menyuruh satpam menyembelih kambing itu lalu disate beramai-ramai.

Kampus yang dikeliling perkampungan kumuh yang lampunya kerap mati dan airnya mengering di musim kemarau.

Toh ini tak menyurutkan langkah mereka untuk bersemangat menuntut ilmu. Bahkan mereka punya banyak mimpi selain menjadi pakar di bidang keuangan. Mimpi menjadi ulama, Mimpi menjadi penulis. Menjadi pengusaha. Bahkan bermimpi menjadi artis. Sebab mimpi-mimpi mereka berlarian-mimpi mereka tak bertepi. Mereka bukan sekedar pemimpi. Tapi Pemimpi yang berani langkahkan kaki.

Tapi ada juga satu mimpi yang harus dibuang. Mimpi bertemu dengan gadis cinta pertama. Sebab mereka lelaki pemimpi, sayang tak punya nyali.

Kisah diatas bisa dibaca lengkap di Novel “  MIMPI-MIMPI TAK BERTEPI”. Ditulis olegh Pra atau Heri Prabowo. Alumni STAN tahun 1996. Penulis yang telah menulis novel, cerpen, artikrel opini dll. Tulisanya dimuat antara lain di Harian Kompas dan Jawa Pos. Penulis juga menjadi narasumber di TV One, Metro TV, Kompas TV dan Bloomberg TV untuk kasus perpajakan dan pencucian uang.  

Selamat membaca.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun