Mohon tunggu...
Nodi Herhana
Nodi Herhana Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar

Teacher of Civic Education

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wajah Pendidikan Kita, Asa Siswa Manggarai

18 April 2018   23:29 Diperbarui: 18 April 2018   23:31 1290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. || Siswa-siswi Sekolah Dasar Katolik Sita di Kecamatan Ranamese, Manggarai Timur, Flores, NTT, membawakan musik Mbata pada Hari Pendidikan Nasional, Sabtu (2/5/2015).(KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR)

Miris dan ironi, inilah kata yang tepat untuk menggambarkan kesenjangan pendidikan yang ada di Indonesia, antara daerah Jawa dan daerah timur Indonesia khususnya Manggarai. Satu tahun sudah saya mengabdikan diri sebagai seorang Guru di Kabupaten Manggarai. Satu tahun sudah saya menyelami dunia pendidikan di Tanah Congka Sai. Satu tahun sudah saya berkelana mengelilingi tanah Manggarai yang berbukit-bukit nan indah itu.

Setiap anak bangsa berhak dan wajib untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Pemerintah telah mencanangkan wajib belajar 9 (sembilan) tahun. Di Jawa mungkin hampir semua terlaksana dengan baik program ini, bahkan beberapa daerah ada yang sudah mencanangkan wajib belajar 12 (dua belas tahun), namun hal ini sepertinya menjadi hal yang sangat sulit untuk diwujudkan di daerah Manggarai. Memang ada banyak faktor yang mempengaruhi sukses tidaknya program pemerintah tersebut. Mulai dari faktor adat dan kebudayaan hingga faktor ekonomi.

Dilihat dari faktor adat dan kebudayaan, Manggarai masih memegang erat nilai-nilai adat dan kebiasaan yang turun menurun dari nenek moyang. Terbukti dengan masih eksisnya peran ketua adat dalam segenap kehidupan masyarakatnya. Masih rutinnya tradisi-tradisi maupun upacara-upacara adat yang dilaksanakan pada waktu tertentu. Sekolah, yang berada di wilayah adatpun harus menghormati nilai-nilai adat yang ada di lingkungannya. Akibatnya seringkali kegiatan pembelajaran kalah prioritasnya jika disandingkan dengan suatu acara adat.

Lalu jika diamati dari faktor sosial pendidikan, masyarakat Manggarai khususnya yang di daerah pedalaman belum sadar betul akan pentingnya pendidikan. Mereka belum paham bahwa pendidikan adalah pintu gerbang untuk mencapai kesuksesan di masa mendatang. Sebagian masih berfikir apa yang ada  sekarang itulah yang dijalaninya tanpa memandang jauh kedepan. Sebenarnya banyak potensi anak negeri yang harusnya mendapatkan pendidikan dengan baik untuk mencapai cita-cita mereka. Perlu sekali diadakannya sosialisasi-sosialisasi kepada anak-anak juga orangtuanya agar memahami pentingnya pendidikan pada masa kini dan masa yang akan datang.

Selanjutnya dipandang dari faktor geografis, daerah yang penuh dengan bukit-bukit menjadikan jarak yang jauh antara satu kampung dengan kampung lainnya. Siswa-siswi saya disana biasa menempuh waktu setengah jam hingga satu setengah jam untuk sampai ke sekolah. Rutinitas itu dijalani dengan berjalan kaki setiap harinya. Jarak yang begitu jauhnya nampaknya tidak terlau menjadi momok yang menghalangi bagi siswa. Mereka justru sangat bersemangat untuk dapat mencapai ke sekolah meski harus melewati bukit-bukit penghalangnya. Saya sering mendapati siswa yang berkeringat sampai di sekolah karena berlari mengejar waktu bel sekolah. Waktu bel sekolah adalah 07.30 WITA, hal ini disesuaikan dengan situasi dan kondisi geografis lingkungan sekitar.

Dilihat dari faktor ekonomi, sebenarnya ini bukan menjadi hal yang patut untuk dipermasalahkan. Pemerintah melalui Bantuan Operasional Sekolah atau BOS telah membebaskan biaya pendidikan siswa sejak SD hingga lulus SMP. Jika di Jawa sudah dilarang keras pihak sekolah menarik biaya apapun dari siswanya, berbeda dengan Manggarai. Disana masih sering dijumpai pihak sekolah menarik uang komite kepada orang tua siswa yang digunakan untuk menggaji para guru honorer. Kesejahteraan guru disana masih sangat memprihatinkan. 

Apabila tidak menarik uang komite maka akan sulit sekolah untuk menggaji para guru honorer tersebut. Mayoritas mata pencaharian orang tua siswa adalah petani dan pekebun. Mereka memilki tanah warisan dari generasi sebelumnya. Hasil kebun berupa cengkeh, kemiri, cokelat dan lain-lain. Panen terjadi pada musim-musim tertentu saja. Akibatnya seringkali uang komite tersebut terlambat dibayarkan bahkan sampai berbulan-bulan. Kadang juga siswa diwajibkan untuk membeli buku ataupun foto kopian materi pelajaran setiap kali naik kelas. 

Hal ini tentu akan sangat memberatkan para orang tua siswa. Saya pernah menemui siswa yang seminggu tidak berangkat sekolah karena alasan yang kurang jelas. Setelah saya selidiki dan mendatangi rumahnya ternyata sang siswa merasa "tidak  enak" untuk bersekolah dikarenakan tidak bisa membayar uang foto kopian. Pihak orang tua saat itu memang belum memiliki uang untuk membayarnya. 

Saya sudah berusaha membujuknya agar masalah uang tidak terlalu difikirkan karena saya juga akan membantunya, namun telanjur paradigma siswa tersebut malas untuk kembali bersekolah. Dia justru lebih memilih bekerja dikebun untuk membantu perekonomian keluarga. Hal ini membuktikan sedikit banyak masalah ekonomi mempengaruhi kondisi psikis siswa untuk bersekolah.

Selama perjalanan hidup disana saya menjumpai banyak sekolah dengan kondisi yang sebenarnya kurang layak dan tidak nyaman untuk proses pembelajaran. Kebanyakan kondisi sekolah yang memprihatinkan adalah dari Sekolah Dasar (SD). Beberapa lokasi SD yang jauh dari keramaian dan berada di atas bukit menjadi salah satu faktor kurang diperhatikannya SD tersebut. 

Bahkan beberapa SD dan SMP masih dalam satu atap, atau biasa disebut SD atau SMP satu atap. Beruntung karena beberapa SMP telah berdiri dengan bantuan dari negara tetangga lewat Australian-Aid. Termasuk saya dulu mengajar di SMPN 11 Satarmese yang bangunannya baru berdiri dua tahun, sebelumnya masih satu atap dengan SDI Cambir. Permasalahan lokasi yang jauh dan sulit dijangkau ini seharusnya bisa lebih cepat diatasi dengan pembangunan infrastruktur jalan menuju ke sekolah. Beberapa kali saya mendatangi sekolah-sekolah dengan kondisi jalan yang sulit dijangkau dengan motor bahkan dijangkau dengan jalan kaki seperti di SDI Lokom, SDN Ara, dan SD Ulubelang.

Sarana dan prasarana sekolah merupakan faktor penting dalam rangka pencapaian tujuan pembelajaran. Kurangnya sarana dan prasarana pasti akan menghambat perkembangan kemajuan sekolah. Salah satu sarana dan prasarana yang paling terlihhat setiap hari adalah bangunan sekolah. Miris dan ironi ketika melihat kondisi bangunan sekolah disini dibandingkan dengan bangunan di Jawa yang mayoritas sudah bagus dan lengkap. Salah satu yang paling membuat hati saya sedih melihatnya adalah kondisi bangunan di SD Ara.

Anggota DPRD Manggarai, Yon Boa kepada Timor Express, Sabtu (14/1), dia mengatakan ketersediaan ruangan kelas untuk KBM sangat minim. Hanya ada tiga ruangan kelas yang gedung permanen. Selebihnya siswa menjalankan KBM dalam ruangan tak layak seperti ruangan berdinding bambu yang diiris, namun tetap berlubang yang beralaskan tanah. Jika musim hujan angin, air hujan masuk dalam ruangan yang bisa mengganggu KBM. Selain kekurangan gedung dan ruang kelas, SDN Ara juga masih sangat terbatas jumlah tenaga pengajar (Sumber)

Kondisi bangunan sekolah yang sebenarnya lebih mirip gubuk, karena terbuat dari irisan bambu sebagai dinding dan beralaskan tanah. Dinding yang penuh lubang, tiang-tiang dari bambu, yang ketika hujan turun airnya sampai didalam kelas dan rasa was-was jika sewaktu-waktu bangunan akan roboh. Saya menyadari bahwa permasalahan pendidikan di Manggarai sangat kompleks sehingga tidak bisa instan dilakukan perubahan. Hanya saja kompleksitas masalah ini bukan menjadi alasan pihak-pihak yang bertanggung-jawab untuk lembek dalam mengatasi masalah tersebut. Banyak pihak dari independen yang sebenarnya ingin bersama-sama mengentaskan masalah pendidikan di Indonesia, mulai dari organisasi-organisasi peduli pendidikan hingga bantuan dari negara tetangga.

Kurangnya siswa juga kadang menjadi "kegalauan pendidikan" di Manggarai. Pendirian Sekolah Dasar yang kurang memiliki daya dukung calon siswa dari kampung terdekat membuat kurangnya siswa pada waktu tertentu. Tak heran jika kadang ditemui satu SD hanya ada 5 rombongan belajar bahkan 4 rombongan belajar saja. Pada akhir tahun pelajaran, dengan berbagai pertimbangan maka akhirnya siswa tersebut dinaikkan ke kelas selanjutya. Hal ini akan menjadi salah satu sebab rendahnya kualitas output dari pendidikan yang ada disana. 

Saya tidak hendak menyalahkan siapapun dalam hal ini, hanya saja seharusnya ini menjadi PR kita bersama. Bagaimana kita akan mengentaskan permasalahan tersebut. Tentu saja bukan hanya tugas guru untuk mendidik generasi muda, namun keluarga juga memiliki peranan penting membentuk mental dan pengetahuan anaknya. Kita harus sadar bahwa kualitas suatu daerah dapat dilihat dari kualitas warganya. Memperbaiki kualitas warga khususnya para generasi muda merupakan investasi masa depan demi kemajuan daerah tersebut.

Sorotan selanjutnya dari pendidik atau guru. Rata-rata jumlah guru PNS lebih sedikit jika dibandingkan dengan guru honorer pada satu sekolah. Di SMPN 11 Satarmese terdapat 12 guru dengan hanya 2 guru yang berstatus PNS. Di SDN Ara hanya ada 1 guru negeri dan 6 guru honorer. Guru-guru honorer mendapat gaji dari uang komite sekolah yang ditarik dari orang tua siswa yang jumlahnya tidak banyak. Kurangnya kesejahteraan guru honorer juga mempengaruhi kinerjanya sebagai seorang guru. Mereka tidak bisa fokus untuk mengajar karena harus mendapatkan tambahan penghasilan demi memenuhi kebutuhannya. 

Tidak hanya siswa yang perlu ditingkatkan kualitasnya, namun guru-guru pun harus juga ditingkatkan kemampuanya. Pemda Manggarai melalui Dinas PPO harus lebih memperhatikan kualitas para tenaga kependidikan dengan membuat program-program maupun workshop-workshop yang berkualitas. Artinya, para instruktur harus memiliki kompetensi dan profesionalitas yang tinggi terhadap output dari program atau workshop tersebut. Hilangkan paradigma bahwa workshop hanya untuk alasan tidak mengajar di kelas bahkan orientasi uang saku kegiatan, tetapi demi meningkatkan kompetensi profesinya.

Kesenjangan diberbagai sisi mestinya segera untuk diatasi agar jarak kesenjangan tersebut tidak semakin melebar. Perlu komunikasi yang baik dari berbagai pihak, mulai dari pihak orang tua siswa, sekolah, masyarakat, pemerintah daerah hingga pemerintah pusat agar setiap permasalahan segera diselesaikan. Para generasi muda Manggarai, mereka masih punya asa, asa membangun negeri tercinta, asa siswa Manggarai membangun Indonesia.

Penulis: Nodi Herhana

 (Tulisan ini menjadi bagian dari Buku Wajah Pendidikan Kita Jilid 5 Halaman 194-199. Penerbit: CV Kekata Group, Surakarta 2017)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun