Miris dan ironi, inilah kata yang tepat untuk menggambarkan kesenjangan pendidikan yang ada di Indonesia, antara daerah Jawa dan daerah timur Indonesia khususnya Manggarai. Satu tahun sudah saya mengabdikan diri sebagai seorang Guru di Kabupaten Manggarai. Satu tahun sudah saya menyelami dunia pendidikan di Tanah Congka Sai. Satu tahun sudah saya berkelana mengelilingi tanah Manggarai yang berbukit-bukit nan indah itu.
Setiap anak bangsa berhak dan wajib untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Pemerintah telah mencanangkan wajib belajar 9 (sembilan) tahun. Di Jawa mungkin hampir semua terlaksana dengan baik program ini, bahkan beberapa daerah ada yang sudah mencanangkan wajib belajar 12 (dua belas tahun), namun hal ini sepertinya menjadi hal yang sangat sulit untuk diwujudkan di daerah Manggarai. Memang ada banyak faktor yang mempengaruhi sukses tidaknya program pemerintah tersebut. Mulai dari faktor adat dan kebudayaan hingga faktor ekonomi.
Dilihat dari faktor adat dan kebudayaan, Manggarai masih memegang erat nilai-nilai adat dan kebiasaan yang turun menurun dari nenek moyang. Terbukti dengan masih eksisnya peran ketua adat dalam segenap kehidupan masyarakatnya. Masih rutinnya tradisi-tradisi maupun upacara-upacara adat yang dilaksanakan pada waktu tertentu. Sekolah, yang berada di wilayah adatpun harus menghormati nilai-nilai adat yang ada di lingkungannya. Akibatnya seringkali kegiatan pembelajaran kalah prioritasnya jika disandingkan dengan suatu acara adat.
Lalu jika diamati dari faktor sosial pendidikan, masyarakat Manggarai khususnya yang di daerah pedalaman belum sadar betul akan pentingnya pendidikan. Mereka belum paham bahwa pendidikan adalah pintu gerbang untuk mencapai kesuksesan di masa mendatang. Sebagian masih berfikir apa yang ada  sekarang itulah yang dijalaninya tanpa memandang jauh kedepan. Sebenarnya banyak potensi anak negeri yang harusnya mendapatkan pendidikan dengan baik untuk mencapai cita-cita mereka. Perlu sekali diadakannya sosialisasi-sosialisasi kepada anak-anak juga orangtuanya agar memahami pentingnya pendidikan pada masa kini dan masa yang akan datang.
Selanjutnya dipandang dari faktor geografis, daerah yang penuh dengan bukit-bukit menjadikan jarak yang jauh antara satu kampung dengan kampung lainnya. Siswa-siswi saya disana biasa menempuh waktu setengah jam hingga satu setengah jam untuk sampai ke sekolah. Rutinitas itu dijalani dengan berjalan kaki setiap harinya. Jarak yang begitu jauhnya nampaknya tidak terlau menjadi momok yang menghalangi bagi siswa. Mereka justru sangat bersemangat untuk dapat mencapai ke sekolah meski harus melewati bukit-bukit penghalangnya. Saya sering mendapati siswa yang berkeringat sampai di sekolah karena berlari mengejar waktu bel sekolah. Waktu bel sekolah adalah 07.30 WITA, hal ini disesuaikan dengan situasi dan kondisi geografis lingkungan sekitar.
Dilihat dari faktor ekonomi, sebenarnya ini bukan menjadi hal yang patut untuk dipermasalahkan. Pemerintah melalui Bantuan Operasional Sekolah atau BOS telah membebaskan biaya pendidikan siswa sejak SD hingga lulus SMP. Jika di Jawa sudah dilarang keras pihak sekolah menarik biaya apapun dari siswanya, berbeda dengan Manggarai. Disana masih sering dijumpai pihak sekolah menarik uang komite kepada orang tua siswa yang digunakan untuk menggaji para guru honorer. Kesejahteraan guru disana masih sangat memprihatinkan.Â
Apabila tidak menarik uang komite maka akan sulit sekolah untuk menggaji para guru honorer tersebut. Mayoritas mata pencaharian orang tua siswa adalah petani dan pekebun. Mereka memilki tanah warisan dari generasi sebelumnya. Hasil kebun berupa cengkeh, kemiri, cokelat dan lain-lain. Panen terjadi pada musim-musim tertentu saja. Akibatnya seringkali uang komite tersebut terlambat dibayarkan bahkan sampai berbulan-bulan. Kadang juga siswa diwajibkan untuk membeli buku ataupun foto kopian materi pelajaran setiap kali naik kelas.Â
Hal ini tentu akan sangat memberatkan para orang tua siswa. Saya pernah menemui siswa yang seminggu tidak berangkat sekolah karena alasan yang kurang jelas. Setelah saya selidiki dan mendatangi rumahnya ternyata sang siswa merasa "tidak  enak" untuk bersekolah dikarenakan tidak bisa membayar uang foto kopian. Pihak orang tua saat itu memang belum memiliki uang untuk membayarnya.Â
Saya sudah berusaha membujuknya agar masalah uang tidak terlalu difikirkan karena saya juga akan membantunya, namun telanjur paradigma siswa tersebut malas untuk kembali bersekolah. Dia justru lebih memilih bekerja dikebun untuk membantu perekonomian keluarga. Hal ini membuktikan sedikit banyak masalah ekonomi mempengaruhi kondisi psikis siswa untuk bersekolah.
Selama perjalanan hidup disana saya menjumpai banyak sekolah dengan kondisi yang sebenarnya kurang layak dan tidak nyaman untuk proses pembelajaran. Kebanyakan kondisi sekolah yang memprihatinkan adalah dari Sekolah Dasar (SD). Beberapa lokasi SD yang jauh dari keramaian dan berada di atas bukit menjadi salah satu faktor kurang diperhatikannya SD tersebut.Â
Bahkan beberapa SD dan SMP masih dalam satu atap, atau biasa disebut SD atau SMP satu atap. Beruntung karena beberapa SMP telah berdiri dengan bantuan dari negara tetangga lewat Australian-Aid. Termasuk saya dulu mengajar di SMPN 11 Satarmese yang bangunannya baru berdiri dua tahun, sebelumnya masih satu atap dengan SDI Cambir. Permasalahan lokasi yang jauh dan sulit dijangkau ini seharusnya bisa lebih cepat diatasi dengan pembangunan infrastruktur jalan menuju ke sekolah. Beberapa kali saya mendatangi sekolah-sekolah dengan kondisi jalan yang sulit dijangkau dengan motor bahkan dijangkau dengan jalan kaki seperti di SDI Lokom, SDN Ara, dan SD Ulubelang.