Mohon tunggu...
Albert Purba
Albert Purba Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Ad Majorem Dei Gloriam

Membahasakan pikiran dengan kata dan aksara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Membaca Konflik Israel-Palestina dari Perspektif Seorang Sastrawan Israel

9 Desember 2023   03:26 Diperbarui: 9 Desember 2023   03:26 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Dok Pribadi

(Albert Purba)

  • John Grisham dari Tel Aviv

            Konflik Israel-Palestina yang belakangan ini semakin sengit setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 yang lalu, membuat kita bertanya-tanya: Apakah mungkin kedua bangsa ini dapat hidup berdampingan dengan damai? Sudah begitu banyak darah yang tumpah dan nyawa manusia tak ubahnya debu di kaki para politisi dan tentara atau pejuang kemerdekaan. Hanya dalam dua bulan perang, angka kematian di kedua belah pihak sudah mendekati 19.000 jiwa. Untuk melakukan semua itu biaya yang dikeluarkan untuk  membeli atau memproduksi senjata dan alat perang lainnya bernilai miliaran dolar.

            Sesengit apa pun permusuhan dan sepanas apa pun konflik, tetap saja yang terlibat adalah manusia yang memiliki tubuh dan jiwa. Tentara atau pejuang kemerdekaan tetaplah makhluk berperasaan sehingga sembari memanggul senjata atau mengendarai tak atau pesawat tempur, dirinya tetap bisa menikmati puisi dan karya sastra. Dalam esai ini, saya mengajak pembaca untuk menyelami jiwa seorang penulis Israel (yang tentu saja, karena wajib militer pernah jadi tentara). Sastrawan tersebut ialah Ram Oren; lahir pada tahun 1936 dan belajar ilmu hukum sembari juga seorang wartawan yang disegani di negerinya. Karyanya terjual jutaan di Israel sendiri, dan dia dijuluki "John Grisham" yang Israel.

(Sumber: Pribadi)
(Sumber: Pribadi)
  • Rahasia Keluarga Sersan Udi Schagi

            Dalam tulisan ini saya mengulik konflik Israel-Palestina dari sebuah cerita pendek karya Ram Oren. Cerita ini termuat dalam kumpulan ceritanya "Apfelsinne aus Jaffa" yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman dan diterbitkan oleh Rumah Penerbitan Brunnen. Salah satu kisah yang dimuat di dalamnya ialah cerpen dengan judul: "Zwei Mtter"  dalam bahasa Indonesia berarti "Dua Ibu".

            Oren mengisahkan seorang tentara muda Israel bernama Sersan Udi Schagi. Tentara teladan, demikian menurut sang komandan, yang atas rekomendasinya akan dipromosikan untuk sekolah perwira. Dia dihukum karena melakukan pelanggaran atau tepatnya pembangkangan perintah atasan. Hukumannya berupa kurungan barak selama sebulan, tanpa ada hari libur dan akhir pekan. Ketika tiba waktunya dia bebas, Udi pulang ke rumah dan di meja makan dia menceritakan alasan kenapa dia tidak pulang selama itu. Ayahnya yang juga seorang tentara mendesaknya untuk bercerita. Dia berterus terang, bahwa dirinya mendapat hukuman, karena tidak melakukan perintah komandannya, yakni menghancurkan rumah keluarga Palestina yang anaknya adalah seorang teroris. Walau anak keluarga tersebut sudah ditembak mati, sang komandan masih saja menginginkan supaya kedua orang tuanya disuruh keluar dari rumah dan dengan bahan peledak rumah mereka diratakan dengan tanah.

            "Tidak melakukan perintah bukan sebuah kebodohan." kata ayah Udi.

            "Aku bukan menolak perintah itu, namun aku tidak sanggup melakukannya!" jawabnya.

            "Kenapa? Apa yang mengganggumu?" kejar sang ayah.

            Udi menerangkan kejadiannya dan mengatakan bahwa ketika ibu dari teroris itu melihatnya, dia terkesima sebab perempuan itu nampak sama seperti ibunya. Mata, warna kulit dan tinggi badan ibu si teroris yang sudah ditembak mati itu sangat menyerupai ibu Udi. Itulah alasan kenapa dia tidak sanggup melakukan perintah sang komandan.

"Apakah kau sudah menjadi hantu yang baik dari golongan kiri?" tanya ayahnya.

 Untunglah, ibunya menengahi dan pembicaraan itu selesai begitu saja. Namun dua minggu kemudian, ketika Udi kembali mendapat liburan dam pulang ke rumah orang tuanya, dia disambut sang ibu dengan sedikit perlakuan memanjakan. Ibunya berkata bahwa selama dua minggu ini, dia tidak bisa tidur setelah mendengarkan cerita anaknya itu.

            Saat ibunya meminta, sersan tentara itu menceritakan bahwa kejadian di mana dia tidak melakukan perintah adalah di sebuah desa bernama Hawara.

            "Apakah kau mengingat nama keluarganya?" tanya sang ibu.

            "Muhsin." jawab Udi.

            "Nama depannya?"

            "Aku tidak tahu. Saya menduga, nama laki-laki itu Ali, atau suatu yang mirip dengan itu."

            Kemudian ibunya membuka di hadapan Udi sebuah album tua, di dalamnya terdapat gambar dua orang gadis di pantai Israel. Keduanya nampak sangat mirip, seperti saudara kembar.

            "Aku pikir, bahwa pertemuanmu dengan perempuan ini terjadi begitu saja. Aku pikir, ini adalah sebuah isyarat dari langit, yang dikirimkan kepadaku, suatu pertanda, yang berkata, bahwa aku sudah saatnya menceritakan rahasia, yang telah aku simpan bertahun-tahun." kata ibunya kepada Udi.

            "Rahasia yang mana?" kejarnya.

            Ternyata ibunya memiliki saudara kembar yang menikah dengan seorang pria Palestina. Keduanya bertemu di tempat kerja yang sama di Yerusalem. Nama suami saudara kembarnya itu adalah: Ali. Karena kakek dan nenek Udi tidak menyetujui pernikahan tersebut, saudara kembar ibunya diusir dan sudah dianggap mati, bahkan mereka melakukan adat atau ritual Shiwe atau Shiva,  yaitu upacara perkabungan Yahudi yang berlangsung selama tujuh hari.

            "Kakek dan nenekmu memintaku supaya aku tidak menceritakan kepada siapa pun kejadian ini selama mereka masih hidup!" kata ibunya. Bahkan ayah Udi sendiri tidak tahu mengenai kejadian dan rahasia sang istri.  Saudara perempuan ibunya pernah sekali menelepon mereka, namun kakek dan nenek Udi menolak untuk berbicara dengan orang yang mereka anggap sudah mati itu.

Pada awal minggu, Sersan Udi kembali bertugas ke desa Hawara. Dia mencari keluarga bibinya, saat dia menemukannya di sebuah rumah yang tidak jauh dari rumahnya yang sudah diledakkan, Udi menunjukkan foto masa mudanya. Perempuan itu nampak ternganga, lalu kembali masuk untuk mengambil sebuah foto lain. Foto tersebut ialah gambar anaknya yang tewas ditembak mati beberapa waktu lalu.

"Ini adalah Musa, putraku", kata sang bibi dalam bahasa Ibrani dengan suara yang penuh kesedihan, sama seperti yang dimiliki ibu Udi. "Saat dia lahir, aku menelepon orang tuaku; aku berharap, bahwa mereka mau melihat anak ini. Mereka menggantung teleponnya."

"Putra kami seumuran dengan Anda", tambah sang bibi. "Di sebuah dunia yang normal, mungkin dia memiliki teman ....Katakanlah kepadaku, kenapa dia mati." ujar sang bibi.

"Dia menembaki kami, kami tidak punya pilihan lain." jawab Udi.

Dengan tangannya yang kurus kering serta gemetar -- sama seperti tangan ibu Udi -- perempuan itu mengembalikan foto yang diberikan Udi dan sebalinya mengambil foto yang diperlihatkan sebelumnya kepada sersan tentara itu, sambil berkata lirih, "Dari semuanya, haruskah Anda membunuhnya?" Lalu berbalik bersama suaminya memasuki kamar rumah mereka yang gelap.

  • Sastra Sebagai Penyuara Hati Nurani

Sebagai penikmat sastra saya sudah beberapa kali membaca cerpen karya Oren tersebut. Dalam setiap pembacaan, saya selalu mendapat percik-percik dan letupan jiwa dari seorang yang selama hidupnya dikungkung dan terbelenggu oleh perang, rengekan senapan dan raungan bom. Semua itu menempanya menjadi seorang tangguh di hadapan medan konflik. Namun, di sisi lain derai air mata, kisah sehari-hari keluarga dan manusia memantik pertanyaan eksistensil dalam diri sang sastrawan. Beliau menggambarkan bahwa konflik bangsanya dengan orang Palestina adalah juga konflik keluarga. Masalah bangsa merangsek ke wilayah privat, dan memisahkan jalan hidup dua saudara kembar yang identik. Saya harus mengakui Ram Orem adalah seorang penulis yang cerdik dan juga peka melihat kenyataan.

Di kancah dua narasi bernada patriotik dan eksistensil, sang penulis terjebak dalam dua pertempuran yang tidak kalah mematikannya. Oren seolah-olah ingin menegaskan kebenaran filsafat Timur yang nampak dalam gambar Yin-Yang, bahwa kita bukan diri kita seutuhnya. Di dalam kita  hadir yang lain dan di dalam yang lain ada kita. Dalam sebuah konflik, kebenaran seperti ini nampak absurd, namun bila kita mendekatinya dengan perlahan mendengarkannya dengan seksama, bukankah dia adalah sebuah panggilan kepada keselarasan hidup?

Sastrawan mungkin bukan politisi hebat atau tentara penembak jitu. Sastrawan bukan orator ulung atau pilot pesawat tempur canggih yang piawai dan garang. Namun sastrawan bisa menyuarakan hati nurani, sebab sebelum dia menuliskan kata-katanya, dia mendengarkan teriakan di dalam hatinya. Dia punya hati yang mendamba, yakni: Perdamaian Abadi bagi segala bangsa! Itulah juga doa kita bagi Israel dan Palestina yang merindu agar damai tidak sekadar impian namun kenyataan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun