Mohon tunggu...
Albert Purba
Albert Purba Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Ad Majorem Dei Gloriam

Membahasakan pikiran dengan kata dan aksara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Membaca Konflik Israel-Palestina dari Perspektif Seorang Sastrawan Israel

9 Desember 2023   03:26 Diperbarui: 9 Desember 2023   03:26 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Dok Pribadi

            "Kakek dan nenekmu memintaku supaya aku tidak menceritakan kepada siapa pun kejadian ini selama mereka masih hidup!" kata ibunya. Bahkan ayah Udi sendiri tidak tahu mengenai kejadian dan rahasia sang istri.  Saudara perempuan ibunya pernah sekali menelepon mereka, namun kakek dan nenek Udi menolak untuk berbicara dengan orang yang mereka anggap sudah mati itu.

Pada awal minggu, Sersan Udi kembali bertugas ke desa Hawara. Dia mencari keluarga bibinya, saat dia menemukannya di sebuah rumah yang tidak jauh dari rumahnya yang sudah diledakkan, Udi menunjukkan foto masa mudanya. Perempuan itu nampak ternganga, lalu kembali masuk untuk mengambil sebuah foto lain. Foto tersebut ialah gambar anaknya yang tewas ditembak mati beberapa waktu lalu.

"Ini adalah Musa, putraku", kata sang bibi dalam bahasa Ibrani dengan suara yang penuh kesedihan, sama seperti yang dimiliki ibu Udi. "Saat dia lahir, aku menelepon orang tuaku; aku berharap, bahwa mereka mau melihat anak ini. Mereka menggantung teleponnya."

"Putra kami seumuran dengan Anda", tambah sang bibi. "Di sebuah dunia yang normal, mungkin dia memiliki teman ....Katakanlah kepadaku, kenapa dia mati." ujar sang bibi.

"Dia menembaki kami, kami tidak punya pilihan lain." jawab Udi.

Dengan tangannya yang kurus kering serta gemetar -- sama seperti tangan ibu Udi -- perempuan itu mengembalikan foto yang diberikan Udi dan sebalinya mengambil foto yang diperlihatkan sebelumnya kepada sersan tentara itu, sambil berkata lirih, "Dari semuanya, haruskah Anda membunuhnya?" Lalu berbalik bersama suaminya memasuki kamar rumah mereka yang gelap.

  • Sastra Sebagai Penyuara Hati Nurani

Sebagai penikmat sastra saya sudah beberapa kali membaca cerpen karya Oren tersebut. Dalam setiap pembacaan, saya selalu mendapat percik-percik dan letupan jiwa dari seorang yang selama hidupnya dikungkung dan terbelenggu oleh perang, rengekan senapan dan raungan bom. Semua itu menempanya menjadi seorang tangguh di hadapan medan konflik. Namun, di sisi lain derai air mata, kisah sehari-hari keluarga dan manusia memantik pertanyaan eksistensil dalam diri sang sastrawan. Beliau menggambarkan bahwa konflik bangsanya dengan orang Palestina adalah juga konflik keluarga. Masalah bangsa merangsek ke wilayah privat, dan memisahkan jalan hidup dua saudara kembar yang identik. Saya harus mengakui Ram Orem adalah seorang penulis yang cerdik dan juga peka melihat kenyataan.

Di kancah dua narasi bernada patriotik dan eksistensil, sang penulis terjebak dalam dua pertempuran yang tidak kalah mematikannya. Oren seolah-olah ingin menegaskan kebenaran filsafat Timur yang nampak dalam gambar Yin-Yang, bahwa kita bukan diri kita seutuhnya. Di dalam kita  hadir yang lain dan di dalam yang lain ada kita. Dalam sebuah konflik, kebenaran seperti ini nampak absurd, namun bila kita mendekatinya dengan perlahan mendengarkannya dengan seksama, bukankah dia adalah sebuah panggilan kepada keselarasan hidup?

Sastrawan mungkin bukan politisi hebat atau tentara penembak jitu. Sastrawan bukan orator ulung atau pilot pesawat tempur canggih yang piawai dan garang. Namun sastrawan bisa menyuarakan hati nurani, sebab sebelum dia menuliskan kata-katanya, dia mendengarkan teriakan di dalam hatinya. Dia punya hati yang mendamba, yakni: Perdamaian Abadi bagi segala bangsa! Itulah juga doa kita bagi Israel dan Palestina yang merindu agar damai tidak sekadar impian namun kenyataan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun