Beberapa waktu lalu saya dibuat tersentak oleh postingan seorang teman di Facebook. Saat itu dia menulis tentang keringnya Lau Biang, yaitu sebuah sungai yang mengalir melintasi beberapa kampung, termasuk juga Kabanjahe, ibu kota Kabupaten Karo.Â
Ada rasa tidak percaya saat membaca berita ini yang sontak membuat ingatanku kembali ke masa kanak-kanak; ke ladang kami yang berada tidak jauh dari sungai ini sehingga pada saat cuaca baik akan terdengar jelas suara desau airnya.Â
Kala itu sebagai seorang anak kecil sepertiku ada rasa ngeri dan takjub. Aku pernah menikmati kesegaran air sungai ini dengan mandi di sana, seingatku ada sebuah pancuran di sana yang airnya langsung keluar dari batu. Pernah di suatu siang yang terik di ladang, tanpa disengaja air minum tumpah sehingga kami semua kehausan.Â
Akhirnya ibu bersama seorang temannya pergi mengambil air ke pancuran tersebut. Kami semua minum dengan puas, airnya sejuk, segar dan langsung dari alam menyelamatkan kami dari dehidrasi yang bisa berakibat fatal. Sebuah kenangan yang tidak terlupakan.
Saat membaca postingan teman tersebut dan melihat ada kesan gembira atau euforia dalam memberitakan peristiwa itu dengan mengajak teman-teman lain menangkap ikan di sungai, hati saya bertanya-tanya. Apakah ada "sense of crisis" di tengah masyarakat kami saat sungai yang selama ini mengalir deras tiba-tiba kering? Apakah masyarakat kami tahu bahwa sungai yang kering adalah ancaman nyata bagi kehidupan?Â
Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul begitu saja, bukan untuk menghakimi sesama tetapi lebih karena keprihatinan saya melihat kenyataan bagaimana kita selama ini memperlakukan sungai.
Kenyataan keringnya Lau Biang beberapa waktu lalu mungkin saja diakibatkan oleh longsornya tebing sehingga air sungai terhempang. Tetapi dibandingkan 20 atau 30 tahun lalu, saya menyaksikan dan melihat betapa pembangunan yang masif dan pertambahan jumlah penduduk di kota Kabanjahe dan desa-desa sekitarnya, serta berkurangnya hutan dan daerah tangkapan air menjadi penyebab utama kejadian tersebut.Â
Ladang tempat saya di masa kecil mendengar desau air sambil berlari-lari mengejar kupu-kupu atau belalang kini sudah berubah menjadi pemukiman. Itu berarti ekosistem pinggiran sungai terancam oleh konversi lahan dan kehadiran manusia.Â
Perubahan iklim dapat juga dijadikan alasan. Namun setidaknya peristiwa keringnya sungai tersebut seharusnya diterima sebagai sebuah isyarat dari alam untuk segera melakukan pembenahan.
Dalam pengamatan dan pengalaman saya, masyarakat kita memang masih menganaktirikan sungai, seolah sungai itu bukan bagian dari diri kita. Sungai atau lingkungan dipandang sebagai bagian terpisah atau mungkin sebagai obyek belaka, baik untuk eksploitasi ekonomi ataupun tujuan-tujuan praktis lainnya seperti tempat membuang sampah atau toilet.Â
Masih jarang kita temukan, apalagi sungai yang berada di tengah kota, difungsikan sebagaimana seharusnya. Padahal kebersihan sungai dan air yang dikandungnya bisa menjadi tolok ukur kesejahteraan lahir dan batin sebuah masyarakat di mana sungai tersebut berada.