Saya tidak bisa melupakan pengalaman masa kecil saya, terutama di saat-saat menjelang tidur. Ketika di mana ibu menceritakan kepada kami dongeng-dongeng atau cerita yang terkenal di tengah-tengah masyarakat Karo seperti: Kak Si Tangko Bunga, Si Katak-Katak, Batu Renggang dan beberapa lainnya.
Tidur rasanya sangat menyenangkan bila sebelum jatuh dalam lelap ada cerita yang membuatku berimajinasi atau terkadang menangis bila ceita itu menyedihkan.
Terkadang ibu tidak sekadar menuturkan cerita-cerita itu tetapi juga menyanyikannya dengan irama khas Karo yang membuat hati pilu dan mata berair.Â
Saat ibu menceritakan kisah Batu Renggang (Batu Belah), dalam hati saya tidak ingin menjadi anak nakal yang membuat ibunya berputus asa dan rela ditelan batu belah batu bertangkup.
Kebiasaan bercerita kepada anak kembali saya lakukan di tengah-tengah keluarga kami. Sejak anak-anak berusia dini saya sudah memperkenalkan kepada mereka buku-buku dongeng, dan sebelum mereka tidur saya pun membacakannya.
Sewaktu masih bekerja di Indonesia, saya membawa mereka setidaknya sebulan sekali ke toko buku dan menyuruh mereka membeli buku apa yang mereka ingini.Â
Dan saat ini, setidaknya dua atau tiga kali dalam seminggu mereka menuntut saya untuk bercerita, dan momen-momen seperti itu nampaknya sangat mereka nantikan.
Antusiasme dan rasa penasaran mereka terhadap cerita yang saya bangun membuat saya juga bersemangat mencari ide-ide kreatif untuk diceritakan.Â
Dongeng atau cerita memang sebuah instrumen yang sangat cocok untuk membangun karakter, mengasah daya imajinasi dan juga internalisasi nilai-nilai kepada anak.Â
Tidak heran dalam sebuah masyarakat yang melek huruf dongeng-dongeng itu kemudian dituliskan sehingga ketika generasi beralih, cerita-cerita dan nilai yang dikandungnya tidak hilang menguap beigut saja. Karena itulah sampai hari ini kita bisa mengenal kisah-kisah fabel yang ditulis oleh Aesoph, penulis Yunani kenamaan itu.Â
Dongeng-dongeng nusantara yang dulunya dialih generasikan dengan tradisi lisan kini sudah bisa ditemukan dalam bentuk buku, dan itu tentu saja sebuah kekayaan bangsa yang tidak ternilai.
Tapi yang menjadi pertanyaan ialah, apakah kekayaan itu sampai ke tangan anak di tengah harga buku yang relatif mahal bagi beberapa keluarga dan akses ke buku-buku sangat terbatas?Â
Dan apakah warisan leluhur itu akan memperkaya anak-anak kita di tengah masifnya budaya digital dan permainan online yang mungkin saja memerangkap atau lebih menarik minat mereka?
Berkaca dari pengalaman saya di kota Herford Jerman, budaya literasi memang tidak dapat dilepaskan dari hadirnya perpustakaan. Dan itu tentu disadari oleh siapa pun juga termasuk para pemangku kepentingan di negeri kita.Â
Di beberapa kota di mana saya pernah bekerja di Sumatera Utara, saya menyaksikan sendiri betapa perpustakaan itu sangat sepi peminat (pengalaman saya beberapa tahun yang lalu).Â
Rak yang kosong, proses pembuatan kartu anggota yang rumit dengan syarat harus ada pas foto dan sebagainya, ditambah lagi dengan fasilitas yang kurang menumbuhkan keinginan datang ke perpustakaan dan buku-buku yang disediakan di dalamnya. Semua ini sedikit banyaknya pasti menyumbangkan kesan negatif kepada kualitas indeks literasi masyarakat kita.
Di kota kecil seperti Herford ini, setidaknya ada tiga toko buku yang saban hari dikunjungi oleh banyak orang, dan saya melihat di lantai dasar toko-toko buku ini kebanyakan di isi dengan buku cerita atau novel baik untuk anak maupun dewasa.Â
Dalam hati saya menyimpulkan bahwa masyarakat di sini adalah masyarakat yang haus bacaan bukan haus tontonan.Â
Kehadiran toko buku memudahkan akses ke dunia ilmu dan dunia fantasi bagi penduduk yang tinggal di sekitar kota.
Perpustakaan Kota (Stadt Bibliothek) dibangun di pusat kota dan tepat di depannya disediakan taman bermain yang luas.Â
Di sini pula dibangun sebuah kapal kayu yang dijuluki Kapal Bajak Laut (Piratenschiff), yang saya lihat sebagai upaya membangun jiwa petualang anak.Â
Di musim panas, di bawah kapal ini ada kolam di mana anak-anak bisa bermain air atau mencebur sepuasnya.Â
Saya melihat ini sebagasi sebuah desain tata ruang wilayah yang cerdik karena bagaimana pun orang-orangtua akan membawa anak ke taman bermain dan tentu saja melirik ke perpustakaan.
Selain buku-buku, ada juga alat-alat permainan, mulai dari kartu sampai permainan Lego yang membangun imajinasi anak. Semua ini untuk dipinjamkan. Untuk buku jangka waktu peminjaman adalah sebulan, sedangkan mainan hanya bisa dipinjam selama seminggu.Â
Dalam rangka menambah daya tariknya, perpustakaan juga menyediakan CD atau DVD film dan lagu yang bisa dipinjam pengunjung. Ini tentu saja menjadi sebuah daya tarik bagi siapa pun, terutama anak atau orangtua yang berpenghasilan rendah.
Lantai dasar dari gedung bertingkat empat ini, disediakan khusus untuk memajang buku-buku cerita anak, mulai dari usia batita sampai remaja. 90 % dari isi ruangan ini berisi buku cerita dan dongeng anak baik dari masa lalu sampai yang mutakhir; mulai dari Fabel Aesoph, karya-karya Grimm Bersaudara, Hans Christian Anderson sampai Donal Bebek atau Tintin dan masih banyak lagi.Â
Dengan kata lain, anak-anak disuguhi dengan dongeng atau kisah-kisah fantasi yang menumbuhkan minat baca dan juga mengembangkan daya kreatif mereka.Â
Dengan cara ini pula masyarakat di sini memperkenalkan ilmu, nilai-nilai hidup serta dunia fantasi kepada anak sedini mungkin. Sekali lagi saya melihat fakta ini sebagai sebuah cara cerdik dan jitu mendidik anak.
Masih di lantai yang sama buku-buku baru dipajang supaya pengunjung tahu apa yang dimiliki perpustakaan. Tema pemajangan buku juga disesuakan menurut musim, jadi akan berbeda buku yang dipajang di saat musim semi atau musim panas.Â
Singkatnya, perpustakaan hadir dengan pelayanan yang sangat memudahkan atau memanjakan penduduk kota. Apalagi khusus untuk anak sampai usia 18 tahun, tidak dipungut bayaran apa pun kecuali saat pendaftaran dan bila buku yang dipinjam terlambat dikembalikan.Â
Proses pembuatan kartu baru sama sekali jauh dari kesan birokratis dan rumit. Tidak perlu diberikan pas foto. Cukup isi formulir sesuai identitas anak yang ditandatangani orangtua, maka pada saat itu juga kartu bisa langsung diterima dan bisa segera meminjam buku atau fasilitas yang disediakan.
Kesejehteraan dalam hal ini bukan sekadar terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan dan papan tetapi juga kesejahteraan mental dan intelektual mereka.
Kesadaran bahwa anak memang masih hidup di dua dunia yakni faktual dan fantasi tentu akan berdampak pada kebijakan yang pro anak, apalagi bila disadari bahwa kehidupan yang akan datang adalah milik mereka sehingga sejak dini mereka sudah dibekali dengan nilai yang kelak berguna.
Meskipun masa depan itu masih bersifat imajiner, tetapi kehadiran toko buku, perpustakaan dan taman bermain yang dipenuhi oleh kisah dan dongeng, telah mengasah dan melatih mereka berpikir imajinatif serta mempersiapkan anak untuk siap menjadi pemilik masa depan ke mana mereka melangkah.
Herford, 22 Maret 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H