Mohon tunggu...
Herfan Brilianto
Herfan Brilianto Mohon Tunggu... Lainnya - "Vision without realism is just a delusion."

"Vision without realism is just a delusion."

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

G20 sebagai Steering Committee Kebijakan Global?

16 November 2022   18:47 Diperbarui: 17 November 2022   08:03 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbeda dengan berbagai forum internasional lain, selama ini G20 sangat berhati-hati untuk tidak memakai istilah Kelompok Kerja (Working Group) guna menindaklanjuti kesepakatan yang diambil. Hal ini dilakukan agar publik dan industri keuangan tidak memiliki ekspektasi berlebih terhadap G20, serta sebagai pengakuan terhadap independensi otoritas keuangan para anggota dalam mengambil kebijakan di negaranya masing-masing.

G20 lebih memilih menggunakan istilah Kelompok Studi (Study Group) yang mencerminkan sifat tidak mengikat dari rekomendasi yang dihasilkan. Antara tahun 1999-2008, G20 hanya sekali membentuk sebuah Kelompok Kerja terbatas, yaitu Troika Working Group on Quota and Voice di 2007, yang membahas usulan mekanisme komitmen bagi metodologi yang akan digunakan untuk menentukan peningkatan hak suara negara berkembang di IMF.

Tapi Kelompok Studi tahun 2008 ini berbeda. G20 Study Group on Global Credit Market Disruptions tidak hanya ditugaskan untuk mencari penyebab krisis. Mereka juga diminta untuk melihat lebih dalam bagaimana pasokan pasar kredit internasional terhenti karena meluasnya krisis kepercayaan global, yang didorong ketidakpastian mengenai seberapa buruk kerugian yang dialami sektor keuangan akibat subprime mortgage. Kelompok Studi ini bahkan diminta mempelajari kebijakan yang dikeluarkan negara-negara anggota G20 dalam menghadapi fenomena credit crunch di sektor perbankan domestik mereka sepanjang tahun 2007-2008.

Lebih jauh lagi, Kelompok Studi ini juga diberi mandat membahas mengenai potensi koordinasi dan kerja sama kebijakan G20 dalam mengatasi masalah likuiditas internasional yang dihadapi perbankan, koordinasi seperti apa yang dibutuhkan untuk memperkuat regulasi dan standar internasional untuk mengembalikan kepercayaan pasar terhadap sektor keuangan, serta bagaimana G20 dapat melakukan aksi terkoordinasi untuk menjaga aggregate demand global agar perekonomian dunia tidak semakin terpuruk.

Mandat bagi Kelompok Studi ini bersifat unprecedented, karena itu artinya negara-negara anggota G20 harus membuka akses bagi Kelompok Studi tersebut, dan memberikan informasi tidak hanya data empiris namun juga data real time yang menjadi dasar asumsi pengambilan kebijakan nasional di masing-masing negara. Negara anggota juga didorong untuk membuka diri dan melakukan kalibrasi kebijakan dengan negara G20 lainnya. Dengan kata lain, forum G20 mengalami transformasi radikal dari forum dialog kebijakan menjadi forum koordinasi dan orkestrasi untuk mengambil kebijakan bersama, sebuah fitur utama bagi definisi pemerintahan global.

Pertemuan di Sao Paolo itu menjadi semakin kritikal karena delegasi Amerika Serikat secara resmi menyampaikan undangan dari Presiden George W. Bush kepada para kepala negara G20 untuk berkumpul dalam KTT G20 pertama di Washington D.C. di pekan depannya. KTT itu diadakan untuk menyikapi semakin memburuknya sistem keuangan global. Kepastian diselenggarakannya KTT tersebut mengakibatkan para menteri keuangan mendapatkan instruksi tegas dari kepala negara masing-masing untuk memastikan bahwa pertemuan di Sao Paolo menghasilkan opsi-opsi kebijakan yang dapat disepakati para kepala negara di saat KTT guna mencegah krisis keuangan global semakin dalam.

Dalam pertemuan tersebut, G20 berhasil mencapai titik temu terkait prinsip-prinsip kebijakan yang harus diambil dalam kerangka penanganan krisis 2008, termasuk: upaya menstabilkan sistem keuangan yang sedang goncang dengan cara apa pun; memaksimalkan instrumen kebijakan fiskal yang dimiliki untuk menjaga demand, menyediakan bantuan akses pembiayaan bagi negara berkembang di tengah kondisi pasar kredit global yang sedang macet, memastikan semua lembaga keuangan internasional memiliki sumber daya yang cukup untuk menjalankan perannya di tengah situasi krisis yang dialami begitu banyak negara; serta menjadikan G20 sebagai wadah untuk koordinasi kebijakan makroekonomi bersama – sebuah transformasi peran forum tersebut.

Namun G20 juga sadar, prinsip-prinsip kebijakan saja tidaklah cukup untuk memberi kepastian bagi pasar keuangan yang sedang berada pada titik terendah kepercayaan mereka terhadap integritas sistem keuangan dan kemampuan pemerintah masing-masing untuk menangani krisis yang terjadi.

Bersamaan dengan proses drafting komunike para menteri keuangan dan gubernur bank sentral, secara paralel dilakukan pula proses diskusi poin-poin rencana aksi (action plan) yang akan diusulkan untuk menjadi kesepakatan bersama para kepala negara G20 dalam KTT Washington, D.C.

Format rencana aksi dipilih agar publik dapat melihat langkah konkrit yang akan diambil pemerintah G20 dalam menangani krisis. Walaupun rencana aksi itu hampir sepenuhnya berisikan instrumen-instrumen kebijakan yang berada di bawah kewenangan mandat yang dimiliki menteri keuangan, mereka sepakat untuk menjadikan rencana aksi tersebut dikeluarkan sebagai sebuah produk pernyataan para kepala negara. Tujuannya agar rencana aksi tersebut memiliki kekuatan yang lebih tinggi untuk mendorong proses implementasi kebijakan di dalam negeri masing-masing anggota G20.

Salah satu sisi menarik dari diskusi rencana aksi adalah ketika para menteri keuangan menyadari bahwa skala krisis keuangan yang terjadi sudah merambat ke sektor-sektor lain. Artinya instrumen kebijakannya berada di luar kendali otoritas keuangan dan bank sentral. Namun karena situasi krisis memburuk sedemikian cepat, tidak ada waktu lagi untuk melakukan dialog nasional yang harus melibatkan kementerian dan otoritas lain apabila rencana aksi disusun mencakup sektor yang lebih luas. Sehingga akhirnya disepakati bahwa Rencana Aksi Washington dibatasi pada kebijakan yang berada di bawah kendali otoritas keuangan dan bank sentral. Walaupun demikian, koordinasi terbatas tetap dilakukan dengan beberapa kementerian tertentu seperti Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Perdagangan, mengingat beberapa poin Rencana Aksi Washington juga terkait dengan proses perundingan yang sedang berjalan di Perserikatan Bangsa-Bangsa maupun World Trade Organization.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun