Mohon tunggu...
Herdianti Indah Puspita
Herdianti Indah Puspita Mohon Tunggu... Konsultan - Be Intellectual Enlightenment

Pemerhati Tata Guna Lahan dan Perubahan Iklim

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menerawang Future of Work di sektor kehutanan

20 Januari 2023   11:06 Diperbarui: 3 Februari 2024   06:35 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Belajar dari pengelolaan KPH

Konsep pengelolaan hutan berbasis tapak mengalami evolusi dari masa ke masa (lihat http://kph.menlhk.go.id/sinpasdok/pages/lihat_berita/6). Sebagai sebuah entitas pengelolaan hutan pada unit pengelola terkecil di tingkat tapak, KPH bisa secara efektif dan efisien dalam mengelola sumber daya hutan. Pembentukan KPH akan memainkan peran kunci dalam upaya lokal menuju pembangunan berkelanjutan ekonomi, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta konservasi keanekaragaman hayati. Konsep pengelolaan hutan berbasis tapak ini sebetulnya mengadopsi konsep pengelolaan hutan era kolonial Belanda yang telah diterapkan di Perum Perhutani dan dielaborasi untuk menjawab tantangan masa kini. Di awal proses pembentukan KPH terdapat 120 KPH model yang didirikan dan diharapkan dapat menjadi KPH model yang mandiri (BLUD). Hal ini kemudian diikuti dengan program rekrutmen pegawai dalam Bakti Sarjana Kehutanan untuk menyerap tenaga kerja sektor kehutanan sebesar besarnya sebagai ujung tombak pengelolaan hutan di seluruh Indonesia. Konsep sertifikasi profesionalitas SDM di Kehutanan juga disiapkan kala itu, untuk menjamin agar Kepala KPH diduduki oleh orang orang yang kompeten dibidang Kehutanan. Konsep pengelolaan KPH ini bagus namun kurang mendapat dukungan politis dari kepala daerah. Nasib para bakti sarjana kehutanan yang direkrut pegawai didaerahpun juga masih terkatung katung tidak memiliki kepastian jangka panjang dan berstatus sebagai tenaga honor, ujungnya pengelolaan hutan di daerah menghadapi berbagai tantangan  dari sisi SDM sebagai pengelolanya. 

Isu lingkungan masih sulit menjadi prioritas pembangunan maupun penganggaran di daerah. Hal ini terjadi mengingat kesadaran terhadap lingkungan itu sendiri masih minim ditingkat individu baik skala nasional maupun daerah. Namun setidaknya Pemerintah kita telah mengawali dengan mewarnai kebijakan RPJMN 2020-2024 lebih hijau dibanding kebijakan di masa sebelumnya. Sebelumnya pembangunan negara dikatakan berhasil apabila kita bisa mengurangi kemiskinan, meningkatkan IPM, menumbuhkan ekonomi, mengurangi tingkat pengangguran terbuka. Dalam new RPJMN tersebut,intensitas emisi untuk pertama kali dijadikan sebagai indikator pembangunan sekaligus menggiring pembangunan kita bertansisi ke ekonomi yang lebih hijau. 

Kembali mengkaitkan ekonomi hijau dan digitalisasi industri, perlahan namun pasti di masa mendatang kita akan masuk ke circularity dan bioekonomi. Kate Raworth, Senior Associate di Cambridge Institute pernah memperkenalkan konsep "Doughnut Economy” atau “ekonomi donat”. Ekonomi donat menawarkan satu pendekatan yang menekankan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, serta kelestarian lingkungan dan sumber daya alam. Dalam kongres Kehutanan Dunia tahun 1978 di Jakarta, dicanangkan tema "forest for people" dimana hutan semakin dipandang dari sudut pandang yang berbeda dan kompleks. Dari gagasan forest for people inilah menggiring lahirnya konsep perhutanan sosial. Perhutanan sosial ini sejalan dengan konsep low carbon development yang berorientasi kepada lingkungan, ekonomi dan sosial.  Pemerintah sendiri telah mentargetkan alokasi perhutanan sosial seluas 12,7 juta Ha area hutan. Tingginya konflik tenurial, kurangnya pemahaman berbagai pihak yang terlibat tentang perhutanan sosial, serta dukungan angggaran untuk perhutanan sosial belum memadai dan belum optimalnya koordinasi pemerintah pusat dan daerah dalam implementasi perhutanan sosial turut berkontribusi menjadi kendala belum optimalnya kinerja perhutanan sosial. 

Hadirnya UU Cipta Kerja diharapkan akan semakin memudahan keran investasi di Indonesia. Namun lagi-lagi, ada banyak kekhawatiran dari pari aktivis lingkungan agar hadirnya UUCK tersebut mengulang sejarah pengelolaan SDA yang carut marut dan tidak lestari. SDA harus kita kelola sebesar besarnya untuk kebermanfaatan bersama dan menciptakan harmoni keberlanjutan dimasa mendatang. Untuk itu diperlukan konsep kolaborasi antar pemerintah pusat, kolaborasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah, kolaborasi pemerintah, private sektor, CSO dan universitas agar terjalin sinergi penta helix yang positif bagi perbaikan lingkungan mulai dari perencanaan, implementasi program, proses evaluasi dan penguatan big data, improvement planningnya serta memperkuat basis penegakan hukum lingkungan akan menjadi sangat krusial dalam mewujudkan tata kelola SDA yang lebih baik. Dari keseluruhan proses tersebut, penyertaan anak muda yang aktif, produktif dan positif diharapkan mampu menjadi akselerasi tongkat estafet menuju indonesia yang maju dan memiliki tata kelola SDA yang lebih baik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun