Mohon tunggu...
Hera Veronica Suherman
Hera Veronica Suherman Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengamen Jalanan

Suka Musik Cadas | Suka Kopi seduh renceng | Suka pakai Sandal Jepit | Suka warna Hitam

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Rantai Derita Mengikat Daksa

15 Januari 2021   17:38 Diperbarui: 15 Januari 2021   18:11 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rantai Derita Mengikat Daksa

Sangkar emas tak ubahnya penjara
gelang bertabur permata laksana
rantai derita mengikat erat daksa

Ia hanya sebagai Boneka Pajangan
pemanis sudut ruang beku dan hampa
dan lelaki tua bangka itu begitu tega

Memperkosa hak-haknya
keji membunuh inginnya
merajam hasratnya

Tak hanya raga yang terkungkung
dibalik tembok-tembok kaku arogan
namun jiwa ikutan merasakan memar
 
Tendangan dan pukulan dilayangkan
bertubi-tubi hingga membuatnya semaput
menyisakan bilur luka di sekujur tubuh

Bahkan kemarin jotosan demi jotosan
menanggalkan giginya hingga
membuat berdarah-darah

Jiwa raga teramat letih
dan hatipun merintih pedih
menangis membuatnya kian ringkih

Ia sungguh tak berdaya
patriarki amat berkuasa
dan ia tak ubahnya budak belian

Yang dijajakan dipinggiran jalan
dicomot setelah sang tuan
menggelontorkan lembar-lembar rupiah

Mahligai indah yang diimpikan
menjelma neraka penderitaan
tak berkesudahan dan ia hanya

Layaknya seorang tawanan
di Istana Gading nan megah
daksa terpenjara terali besi

Laksana butiran debu dijentikan
dengan ujung jari lalu ditiup
lenyaplah tersapu embusan bayu

Ingin ia hantam keras tembok patriarki
dengan lengan terkepal namun
apalah daya energi telah terkuras habis

Wahai Tuan lepaskanlah belenggu
yang mengikat erat daksa ini
biarkan hamba terbang bebas

Bak seekor Merpati lepas terbang jauh
lintasi langit mimpi dan memetik
bintang harapan yang bersinar terang

Jangan biarkan jiwa raga
dipenuhi lebam hingga satu saat nanti
hati karam dan hidup berkalang muram

Ujarnya lirih dihadapan tembok
menatap dingin, beku dan bisu
sedingin hasratnya yang terlanjur membatu

***
Hera Veronica Sulistyanto
Jakarta | 15 Januari 2021 | 17:38

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun