Pentingnya Mengukur Depresi di Komunitas Terdampak Banjir dengan Alat Ukur yang Tepat
Indonesia merupakan negara dengan keberagaman bahasa yang sangat tinggi. Namun, untuk memudahkan komunikasi yang akurat dalam penelitian, bahasa Indonesia menjadi pilihan utama, terutama dalam pengumpulan data penelitian yang berkaitan dengan isu kesehatan masyar           akat. Dalam penelitian ini, para peneliti menguji apakah alat ukur depresi yang sering digunakan, yaitu Beck Depression Inventory-II (BDI-II), yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dapat diandalkan dan valid untuk mengukur tingkat depresi di komunitas yang terdampak banjir.
Para ahli di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) turut serta dalam penelitian ini. Mereka terdiri dari Tutu April Ariani, Anastasia Anna, Henik Tri Rahayu, Nur Aini, Heni Dwi Windarwati, Aty Hernawaty, Sriyani Padmalatha Konara Mudiyanselage, dan Mei-Feng Lin. Mereka semua adalah dosen di Program Studi Keperawatan UMM yang memiliki pengalaman mendalam dalam penelitian terkait masalah kesehatan mental, khususnya yang berkaitan dengan bencana alam.
Penerjemahan BDI-II untuk Penelitian di Indonesia
Proses awal dari penelitian ini adalah penerjemahan BDI-II dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Tutu April Ariani menjelaskan bahwa penerjemahan dilakukan dengan menggunakan metode forward-backward translation, yaitu penerjemahan dua arah untuk memastikan tidak ada makna yang hilang atau salah dimengerti. "Kami sangat berhati-hati agar tidak ada interpretasi yang keliru, karena bisa memengaruhi hasil penelitian," ujar Tutu, yang juga terlibat dalam penelitian ini.
Metode Penelitian dan Uji Validitas
Dalam penelitian ini, para peneliti menggunakan beberapa metode untuk menguji reliabilitas dan validitas terjemahan BDI-II. Salah satunya adalah analisis faktor eksploratori (EFA) yang bertujuan untuk mengidentifikasi struktur faktor yang ada dalam alat ukur ini. Heni Dwi Windarwati mengungkapkan, "Hasil analisis faktor menunjukkan bahwa alat ukur ini memiliki dua faktor utama: faktor pertama berkaitan dengan sikap kognitif negatif dan faktor kedua berhubungan dengan gejala-gejala somatik, seperti rasa lelah dan sakit kepala."
Penting untuk dicatat bahwa penelitian ini melibatkan 107 korban banjir tahunan di Jawa Barat, yang menjadi peserta untuk menguji kehandalan BDI-II yang sudah diterjemahkan. Nur Aini menambahkan, "Kami memilih peserta yang tinggal di daerah rawan banjir untuk memastikan bahwa instrumen ini bisa mengukur depresi pada mereka yang memang membutuhkan perhatian khusus dalam kondisi setelah bencana."
Hasil yang Menjanjikan untuk Mengukur Depresi pada Korban Banjir
Hasil analisis data dari Confirmatory Factor Analysis (CFA) menunjukkan bahwa BDI-II versi Indonesia sangat cocok digunakan di Indonesia. Dengan nilai Goodness-of-Fit Index (GFI) mencapai 0.8, Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) 0.09, dan Comparative Fit Index (CFI) 0.81, alat ukur ini terbukti dapat mengukur depresi secara tepat di masyarakat, terutama mereka yang terdampak bencana seperti banjir.
Mei-Feng Lin, salah satu peneliti dari UMM yang terlibat, menyampaikan, "Hasil ini sangat menggembirakan, karena dengan alat ukur yang sudah teruji ini, kita bisa lebih cepat dan tepat dalam memberikan dukungan psikologis bagi mereka yang mengalami depresi setelah bencana."
Pentingnya Validasi untuk Berbagai Kelompok Sosial-Budaya
Walaupun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa BDI-II versi Indonesia dapat digunakan dengan baik di masyarakat yang terdampak banjir, para peneliti menekankan pentingnya melakukan uji validasi lebih lanjut di berbagai kelompok sosial dan budaya di Indonesia. Aty Hernawaty menjelaskan, "Indonesia memiliki banyak sekali suku dan budaya. Oleh karena itu, sangat penting untuk memastikan bahwa alat ukur ini dapat diterima dengan baik dan valid untuk seluruh lapisan masyarakat."
Kesimpulan dan Harapan ke Depan
Penelitian ini menyimpulkan bahwa Beck Depression Inventory-II versi Indonesia sudah terbukti dapat diandalkan dan valid untuk mengukur depresi pada masyarakat yang terdampak bencana banjir. Penelitian ini menjadi langkah penting dalam membantu pemerintah dan lembaga terkait untuk menangani masalah kesehatan mental pasca-bencana. Sriyani Padmalatha Konara Mudiyanselage berharap, "Ke depannya, kami berharap instrumen ini dapat digunakan secara lebih luas dan menjadi alat bantu yang bermanfaat untuk mengidentifikasi depresi, sehingga bisa segera diberikan penanganan yang tepat."
Para peneliti berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat yang lebih besar dalam memberikan perhatian kepada kesehatan mental, terutama bagi mereka yang hidup di daerah rawan bencana. Heni Dwi Windarwati menegaskan, "Setelah bencana, perhatian terhadap kesehatan fisik memang penting, tetapi kita tidak boleh melupakan kesehatan mental. Dengan alat ukur yang tepat, kita bisa lebih baik dalam membantu masyarakat pulih setelah bencana."
Dengan hasil yang menjanjikan ini, langkah selanjutnya adalah mengimplementasikan instrumen ini ke lebih banyak daerah yang rentan terhadap bencana, serta memastikan bahwa instrumen ini tetap relevan untuk berbagai kondisi sosial dan budaya di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H