Langit Etihad pada 15 Desember 2024 menyaksikan sejarah. Ribuan pasang mata berkumpul, terbungkus dalam atmosfer yang menggema dari sorak-sorai pendukung. Di balik garis putih lapangan, dua arsitek sepak bola bertemu: Ruben Amorim, pria muda dengan visi tajam yang mulai menancapkan namanya di Liga Premier, dan Pep Guardiola, sang maestro, penjaga tradisi sepak bola indah.
Di satu sisi, ada Manchester United, tim yang tengah mencari identitas baru setelah bertahun-tahun tertatih-tatih sejak kepergian Sir Alex Ferguson. Di sisi lain, Manchester City, penguasa modern yang tak pernah kehilangan kepercayaan pada dominasi mereka. Namun, seperti yang selalu terjadi dalam derby ini, prediksi hanya bagian kecil dari cerita. Pertarungan bukan hanya soal siapa yang lebih hebat, tetapi siapa yang lebih siap menanggung beban kehormatan kota.
Filosofi dan Taktik yang Dipertaruhkan
Pep Guardiola menjamu ahli strategi lawan ke laga ini dengan rencana matang. Taktik 4-3-3 yang sering ia gunakan dimodifikasi dengan menggeser Joko Gvardiol ke peran double pivot bersama Ilkay Gndogan. Perubahan ini dimaksudkan untuk menambah kedalaman di lini tengah, sebuah area yang sering menjadi medan pertempuran utama dalam derby. Dengan Kevin De Bruyne berperan sebagai playmaker klasik, City berharap memecah pertahanan United yang sering kali rapuh musim ini
Sementara itu, Arsitek Portugal Ruben Amorim memiliki pendekatan yang berbeda. Dikenal karena fleksibilitasnya, Amorim tidak takut membuat keputusan berani. Dengan formasi 3-3-4-2-1 / 3-5-2 yang rapat, ia menekankan pada transisi cepat. Ketidakhadiran Marcus Rashford dan Alejandro Garnacho menjadi sorotan banyak pihak sebelum pertandingan dimulai, namun Amorim tampaknya memiliki rencana tersendiri. Amad Diallo diberikan kepercayaan penuh di sektor sayap, dan itu terbukti menjadi keputusan jenius.
Jalannya Pertandingan: Dua Babak, Dua Cerita
Babak Pertama: Dominasi yang Menipu
Sejak peluit pertama dibunyikan, City langsung menunjukkan niat mereka. Permainan cepat dengan penguasaan bola tinggi membuat United tertekan. Di menit ke-36, City akhirnya memecah kebuntuan. Sebuah sepak pojok yang diambil De Bruyne melayang tepat ke kepala Joko Gvardiol, yang tanpa pengawalan berarti menyundul bola ke gawang Andr Onana. Gol ini menyoroti kelemahan United dalam mengantisipasi bola mati---isu yang berulang sepanjang musim.
United terlihat kehilangan arah. Bruno Fernandes, kapten tim, berusaha memimpin serangan, tetapi isolasi lini depan membuat upaya mereka sering gagal. City terus mengontrol tempo, dan babak pertama diakhiri dengan keunggulan tuan rumah.
Babak Kedua: Panggung Sang Raja
Ruben Amorim tidak tinggal diam, ia merubah taktik saat masuknya Kobbie Mainoo menggantikan Mason Mount yang cedera mengubah dinamika lini tengah United. Mainoo memberikan energi baru, menantang dominasi Gndogan dan Gvardiol. Dengan strategi yang berfokus pada serangan balik cepat, United mulai menemukan celah di pertahanan City.
Terlihat permainan Manchester United yang fleksibel, serta jelas arah dan tujuan dari filosofi Ruben Amorim. Babak kedua menjadi panggung teater Amorim Ball, fleksibilitas yang mencari celah dari pasukan Guardiola. Walaupun permainan sudah terlihat skema, tetapi masih rancau akibat kesalahan individual.Â
Menit-menit terakhir menjadi momen penentuan. Di menit ke-88, sebuah umpan panjang dari Casemiro diterima Amad Diallo di sisi kanan. Diallo yang gesit dijatuhkan oleh Matheus Nunes di dalam kotak penalti. Bruno Fernandes melangkah maju dengan penuh percaya diri, menaklukkan Ederson dengan eksekusi tenang. Skor menjadi 1-1.
Dua menit berselang, drama semakin memuncak. Sebuah serangan balik cepat dimulai dari Andr Onana yang memberikan bola langsung ke Diallo. Dengan kecepatan dan ketenangan luar biasa, Diallo melewati Ruben Dias dan mencetak gol kemenangan. Etihad Stadium terdiam. United membalikkan keadaan dalam waktu kurang dari lima menit.
Analisis Taktik dan Filosofi
Keberanian Amorim Mengubah Arah
Keputusan Ruben Amorim untuk mempercayai pemain muda seperti Mainoo dan Diallo, serta merumahkan Garnacho dan Rashford, membuktikan instingnya sebagai pelatih yang berani mengambil risiko. Di saat tekanan memuncak, ia memilih untuk menyerang kelemahan taktis City daripada bermain aman. Pendekatan ini mencerminkan filosofi yang tidak hanya mengandalkan pemain bintang, tetapi juga kolektivitas dan adaptabilitas.
Guardiola Terjebak dalam Inovasi
Keputusan Guardiola untuk memindahkan Gvardiol ke lini tengah ternyata menjadi bumerang. Meskipun dimaksudkan untuk menciptakan kontrol, perubahan ini justru meninggalkan celah di pertahanan, terutama saat transisi. Pergerakan Diallo dan Antony di sisi sayap mengeksploitasi ruang yang ditinggalkan oleh bek sayap City, menciptakan peluang-peluang berbahaya. City mendominasi penguasaan bola dengan persentase mencapai 60%, mencerminkan filosofi permainan Guardiola yang menekankan kontrol permainan melalui passing pendek dan pergerakan dinamis. Namun, dominasi ini tidak efektif dalam menciptakan peluang berbahaya, terbukti dengan minimnya tembakan tepat sasaran. Sebaliknya, United bermain lebih pragmatis, fokus pada pertahanan solid dan serangan balik cepat yang memanfaatkan celah di lini belakang City.
Mentalitas dan Dinamika Tim
United menunjukkan bahwa sepak bola tidak hanya soal taktik, tetapi juga mentalitas. Tertinggal satu gol di kandang lawan, mereka tetap percaya pada peluang mereka. Amorim berhasil menanamkan semangat pantang menyerah yang telah lama hilang dari klub ini.
Sebaliknya, City menghadapi masalah internal yang mulai terungkap. Kritik dari pemain bintang mereka terhadap rekan setim setelah pertandingan mengindikasikan ketegangan yang bisa memengaruhi perjalanan mereka ke depan. Guardiola, meskipun dikenal sebagai manajer hebat, kini ditantang untuk memperbaiki dinamika timnya.
More Than Game
Derby Manchester kali ini bukan hanya soal kemenangan dan kekalahan. Ini adalah cerita tentang keberanian, strategi, dan momen-momen kecil yang mengubah segalanya. Ruben Amorim, dengan kemenangan ini, tidak hanya mengambil tiga poin tetapi juga mengukuhkan tempatnya dalam peta taktik sepak bola Inggris.
Bagi United, kemenangan ini adalah awal dari perjalanan baru. Bagi City, ini adalah pengingat bahwa dominasi membutuhkan lebih dari sekadar nama besar. Di balik gemerlap Etihad, sepak bola kembali mengajarkan bahwa dalam permainan ini, segala sesuatu mungkin terjadi hingga peluit terakhir berbunyi.
Derby ini akan dikenang sebagai salah satu yang terbaik dalam sejarah Manchester, mengingatkan kita bahwa sepak bola adalah seni, dan seni ini hidup dalam ketidakpastian yang indah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H