Panas terik menyengat kulit, tak ada angin sedikit pun yang berembus. Hanya terdengar suara gelombang air yang menyapu pinggir dermaga. Suasana riuh penuh isak tangis keluarga. Mereka seakan tak peduli dengan teriknya matahari. Pemberangkatan satuan tugas di perbatasan Negara oleh prajurit TNI AD yang begitu mengharukan.
"Jangan pergi..."
Dengan mata yang berkaca-kaca, Dinda pun melepaskan kepergian kekasihnya. Satria kemudian pergi meninggalkan Dinda menuju kapal yang sudah menanti. Di ujung dermaga Dinda memandangi kapal yang kian menjauh. Satria melambaikan tangan kepada Dinda.
"Tunggu aku kembali, Sayang. Aku ingin, ketika aku kembali nanti, kamu menjemputku dengan senyum terindahmu" ucapan lirih dari Satria lewat telepon genggam sembari tersenyum dari atas kapal, walaupun sebenarnya Satria juga berat untuk meninggalkan Dinda.Â
Satria berusaha untuk menyembunyikan kesedihannya agar bisa membuat Dinda lebih tenang. Dinda tak mampu berucap lagi. Air matanya deras mengalir di pipinya.
 "Bang, aku berjanji akan selalu menjaga hatiku untukmu. Aku akan menunggumu kembali," ucap Dinda dalam hati sambil menghela napas di tengah perjalanan pulang.
Mentari pagi bersinar sangat indah, embusan angin terasa syahdu. Pagi ini suasana hati Dinda sedikit membaik. Dinda selalu ingat kata-kata Satria untuk selalu semangat dan menantinya kembali. Kebetulan hari itu hari minggu. Dinda ada janji untuk menemani Rere membeli sebuah kain di butik pusat kota.
"Din, bagaimana? Sudah ada kabar dari kekasihmu?" sahut Rere
"Belum Re, Bang Satria belum memberi kabar sama sekali sejak keberangkatannya. Aku benar-benar cemas. Ponselnya tidak bisa dihubungi."
"Nggak apa-apa, Din. Itu adalah bagian dari perjuangan cinta kalian. Doakan saja yang terbaik."
"Makasih ya, Re. Kamu memang sahabat terbaik," ucap Dinda sambil memeluk Rere. Mereka kemudian menyelesaikan belanjanya dan dilanjutkan makan siang di salah satu warung makan samping butik.
***
Waktu terus berjalan, tak terasa sudah hampir lima bulan Dinda ditinggal kekasihnya. Satria selalu menyempatkan waktu untuk memberi kabar kepada Dinda walaupun tidak bisa setiap waktu. Â Hal itu tidak membuat hati Dinda bersedih. Dinda tahu resiko menjadi kekasih seorang prajurit. Mereka tidak bisa memberikan seluruh waktu layaknya lelaki di luar sana. Walaupun hanya satu menit kabar darinya, setidaknya Dinda tahu kekasihnya dalam keadaan baik-baik saja. Banyak hal yang bisa Dinda pelajari menjadi kekasih seorang abdi negara. Menjadi pendamping yang harus benar-benar setia saat ditinggal bertugas.
Hingga pada akhirnya ada sesuatu hal yang tidak dimengerti oleh Dinda. Beberapa waktu sikap Satria berubah total, yang awalnya penyayang, lembut, dan penuh canda tawa. Tiba-tiba menjadi kasar, pemarah, dan tidak peduli kepada Dinda. Disaat jarak memisahkan tetapi justru pertikaian selalu menghampiri.
[Kita sudahi saja hubungan ini]
Satria tiba-tiba mengirim pesan itu. Seketika tubuh Dinda membeku, setelah sekian lama menenun rindu, Satria malah menghancurkan hatinya. Segera ia membalas pesan Satria.
[Apa maksudnya Bang, Ade tidak mengerti. Abang sedang bercanda kan?]
Tidak ada lagi balasan dari Satria. Dinda berkali-kali menelepon Satria berharap akan ada jawaban. Namun usahanya sia-sia, ponsel Satria sudah tidak aktif lagi. Semakin hancur hati Dinda. Perpisahan yang tanpa alasan dan tanpa sebab. Bagaikan terhantam batu yang keras.
Berhari-hari Dinda menunggu kabar dari Satria. Semenjak kejadian itu Dinda menjadi pemurung dan kurang semangat. Dinda masih berharap hubungannya bisa diperbaiki lagi.
Beberapa hari setelah kejadian itu Dinda pun jatuh sakit sehingga harus izin tidak bekerja. Dinda juga tidak ingin masalahnya terbawa dalam perkerjaan. Dengan badan yang masih lemas Dinda pergi ke rumah Rere. Sampai di rumah Rere, Dinda tidak sengaja mendengar Rere sedang berbicara dengan seseorang diponsel.
"Tidak, Sat. Aku sayang sama kamu. Kamu tidak sendirian, aku akan selalu ada untuk kamu. Dinda memang tidak cocok untuk kamu. Kamu terlalu sempurna untuk orang pengkhianat seperti Dinda."Â
Mendengar hal itu hati Dinda seperti tersayat pisau. Sahabat baiknya tega mengucapkan seperti itu kepada kekasihnya.
"Maaf, Din... bukan maksudku begitu, tapi..." ucap Rere sambil mematikan telepon saat menyadari kehadiran Dinda.
Belum sempat Rere memberi penjelasan, Dinda sudah meninggalkan Rere tanpa kata. Tak pernah disangkanya, seorang sahabat yang begitu baik dimatanya tega mengkhianatinya.
Kejadian itu membuat Dinda dan Rere tak lagi saling berkomunikasi. Persahabatan mereka seketika renggang karena cinta. Beberapa waktu kemudian, tanpa sengaja Dinda kembali bertemu dengan teman kecilnya, Putra. Mereka terlihat asyik mengobrol di salah satu restoran di perbatasan kota. Pertemuan itu membuat mereka kembali bernostalgia tentang masa kecil mereka yang saling menjaga satu sama lain. Pada saat itu juga Putra tahu akan hubungan Dinda dan Satria.
Seiring berjalannya waktu, Dinda dan Putra semakin dekat. Putra tidak segan-segan untuk mengenalkan Dinda kepada keluarga besarnya. Tidak lagi mengenalkan sebagai teman, tetapi sebagai calon istri, hal itu membuat Dinda benar-benar terkejut. Apalagi keluarga besarnya pun menerima Dinda dengan hangat.
 "Tunggu aku kembali, Din. Aku akan bawa orang tuaku untuk segera melamarmu,"  ucap Putra sebelum Check-in di bandara. Hari di mana perpisahan Dinda dan Putra, sebelum Putra kembali berdinas, karena masa cutinya telah habis. Dua minggu bersama Dinda adalah momen bahagia untuk Putra.
Di saat hati Dinda terobati akan kehadiran Putra. Satria kembali menghubungi Dinda, dia ingin memperbaiki lagi hubungannya dengan Dinda. Dinda tak tahu apa yang harus dilakukan, dan Dinda membiarkannya mengalir begitu saja. Tentu saja hal ini diketahui oleh Putra.
***
Satu tahun telah berlalu, kini tiba saatnya Satria kembali pulang dari tempat penugasannya. Satria meminta Dinda untuk menjemput di Dermaga. Dinda pun meminta izin kepada Putra.
"Tega kamu, Din. Ternyata yang dikatakan Rere selama ini benar," kata Satria sambil menatap laut dengan tajam, setelah melihat pesan singkat dari Putra di ponsel Dinda.
"Apa maksud kamu Bang, selama ini kamu tidak pernah cerita apa yang terjadi. Kamu meninggalkan aku tanpa sebab. Sekarang aku dekat dengan orang lain kamu marah." Dinda pun menjelaskan semua yang terjadi, bahkan Dinda juga mengatakan tentang pertemuannya dengan Putra.
Satria menatap Dinda tanpa kata. Tak terasa mata Satria berkaca-kaca. Terlihat ombak mengalun dengan damai, nampaknya air laut ikut menyaksikan kisah haru ini. Satria tak berhenti untuk meminta maaf kepada Dinda atas kesalahpahaman ini.
Beberapa hari setelah itu, Dinda mengambil sebuah keputusan, dia memilih kembali kepada Satria. Lalu, memberikan penjelasan kepada Putra.
"Tidak apa-apa Din, aku tidak sakit hati sama Dinda. Mas memang sayang sama Dinda, tapi Dinda juga berhak memilih. Semoga Dinda bahagia ya, doakan aku juga segera menemukan pendamping hidup yang seperti Dinda," ucap Putra yang membuat air mata Dinda menetes dan tak mampu lagi mengucapkan sepatah kata pun.
Keputusan Dinda membuat hati Satria senang dan bergegas untuk melamar Dinda. Mereka sama-sama mencoba untuk melupakan kejadian yang telah mereka lalui. Dinda dan Satria hidup bahagia, proses menikah di kantor Satria yang tidak mudah dilewati membuat mereka lebih memahani arti dari perjuangan. Begitu juga kejadian yang mereka alami, membuat mereka mengerti akan pentingnya saling percaya dalam sebuah hubungan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI