Referensi:Â http://kamusbahasaindonesia.org/korupsi#ixzz2gcBOcPzT.
Jangan tanya tentang agama, siapapun di negeri ini tidak meragukan agama dari ketua MK, pasti sebagaimana indikasi namanya adalah pemeluk agama yang taat. Namun kenyataan berkata lain, agama taat dilakukan karena sebagai suri tauladan di kantor. Materi untuk kebutuhan, tidak pula diragukan, pasti terpenuhi.
Yang jadi tanda tanya, apakah ketua MK melakoni hidup keberagamaan? Atau sekedar taat dan disiplin melakukan ritual agama? Belum menyentuh esensi hidup melakoni hidup keberagaamaan. Melakoni hidup keberagamaan adalah esensi manusia beragama. Hidup dalam ketuhan berarti menjalani sifat Tuhan. Bukan sekedar menyembah Tuhan. Cinta pada Tuhan berarti melakoni kehidupan dalam sifat ketuhanan. Sifat yang dicintainya.
Melakoni kehidupan dengan sifat ketuhanan adalah esensi spiritual. Ritual luaran diperlukan semata mengelabuhi orang lain. Tetapi dalam hati, siapa yang menilai? Bukankah: ‘Tuhan lebih dekat dari urat lehermu’?
Boleh saja kita melakoni ritual untuk mengelabuhi orang lain, inilah kemunafikan kita. Inikah yang disebut: ‘Hablull min Allah’ baik? Bukankah lebih bernilai jika: ‘Hablull minnanas’ nya yang baik? Tentu bukan sekedar basa basi, tetap secara tulus hati.
Ritual baik sekedar perbuatan munafik jika tidak dibarengi dengan pikiran, ucapan, dan perbuatan yang selaras dengan sifat ketuhanan. Tidak perlu berteriak dengan keras: Tuhan Maha Besar untuk membuktikan keberagamaan kita. Beragama adalah melakoni sifat kelahian, bukan sekedar ritual yang hanya berguna untuk menipu orang lain.
Negeri ini tidak banyak penjahat, yang banyak adalah manusia munafik.
Tidak ada keterkaitan antara ketaatan beragama atau segala atribut luaran dan korupsi.
Korupsi tidak berkaitan dengan materi, tetapi dengan cara melakoni kehidupan dengan dasar esensi keagamaan, sifat ketuhanan….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H