Ketika pada suatu malam saya terima uang 100 ribu rupiah, saya merasakan begitu bersyukur. Uang tersebut tidak besar, bahkan sangat kecil. Saya bersyukur karena sore harinya butuh uang untuk beli pulsa. Saya butuh uang untuk beli pulsa. Dan alhamdulillah malamnya ada angpao yang pas untuk beli pulsa. Tidak lebih tidak kurang.
Saat malam itu tiba di rumah istri cerita bahwa ketua MK, Akil Mochtar tertangkap basah terima uang 2-3 milyar di kediamannya, komplek Widya Chandra. Bandingkan nilai ke duanya, 100 ribu rupiah dan 2,5 milyar.
100 ribu rupiah bergitu bernilai, karena butuh untuk beli pulsa. Saya bersyukur karenanya. 2-3 milyar, dalam benak saya timbul pertanyaan, benarkah mereka yang menerima bisa bersyukur? Yang pertama menerima karena adanya kebutuhan. Uang tidak besar, tetapi karena kebutuhan, rasa syukur pun begitu nikmatnya.
Uang 2-3 milyar yang ‘mungkin’ untuk ketua MK jauh berkali lipat nilainya dibandingkan 100 ribu. Tetapi karena dasarnya bukan kebutuhan, bisakah si penerima bersyukur sebagaimana yang dirasakan oleh yang memang benar-benar butuh. Uang 2-3 milyar bukanlah karena kebutuhan, tetapi atas dasar keinginan.
Ingat yang pernah disampaikan oleh Mahatama Gandhi:
‘Dunia bisa memenuhi kebutuhan semua orang, namun tidak akan bisa memenuhi keinginan seorangpun manusia’
Banyak orang tidak memahami beda antara kebutuhan dan keinginan. Benarkah ada hubungan antar korupsi dan materi? Mari kita simak salah satu peringatan kata bijak di bawah ini:
                       Korupsi tidak ada hubungannya dengan materi, oleh karenanya semua solusi materi akan selalu gagal.
Korupsi muncul di masyarakat yang tidak memiliki kesadaran spiritual.
      Kembangkan kesadaran spiritual, dan tidak akan ada korupsi.
                                                (108 Power Pills of Wisdom by ANAND KRISHNA)
Benarkah ketua MK bergaji kecil sehingga tidak bisa makan? Atau, benarkah ketua MK tidak punya rumah atau mobil yang layak dimiliki dan dikendarai? Siapapun yang tinggal di negeri ini tahu penghasilan ketua MK dapat dipastikan memadai untuk memenuhi kebutuhan: pangan, sandang, dan papan. Belum termasuk kendaraan. Yang pastinya sudah disediakan atas dasar fasilitas negara.
Sama sekali tindakan menerima uang bukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. So,perbuatan menerima uang tersebut di tempat kediaman seorang ketua MK jelas terindikasi arah tindakan korupsi. Sebagaimana definisi korupsi dalam istilah kamus bahasa Indonesia adalah: ko.rup.si
[n] penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain
Referensi:Â http://kamusbahasaindonesia.org/korupsi#ixzz2gcBOcPzT.
Jangan tanya tentang agama, siapapun di negeri ini tidak meragukan agama dari ketua MK, pasti sebagaimana indikasi namanya adalah pemeluk agama yang taat. Namun kenyataan berkata lain, agama taat dilakukan karena sebagai suri tauladan di kantor. Materi untuk kebutuhan, tidak pula diragukan, pasti terpenuhi.
Yang jadi tanda tanya, apakah ketua MK melakoni hidup keberagamaan? Atau sekedar taat dan disiplin melakukan ritual agama? Belum menyentuh esensi hidup melakoni hidup keberagaamaan. Melakoni hidup keberagamaan adalah esensi manusia beragama. Hidup dalam ketuhan berarti menjalani sifat Tuhan. Bukan sekedar menyembah Tuhan. Cinta pada Tuhan berarti melakoni kehidupan dalam sifat ketuhanan. Sifat yang dicintainya.
Melakoni kehidupan dengan sifat ketuhanan adalah esensi spiritual. Ritual luaran diperlukan semata mengelabuhi orang lain. Tetapi dalam hati, siapa yang menilai? Bukankah: ‘Tuhan lebih dekat dari urat lehermu’?
Boleh saja kita melakoni ritual untuk mengelabuhi orang lain, inilah kemunafikan kita. Inikah yang disebut: ‘Hablull min Allah’ baik? Bukankah lebih bernilai jika: ‘Hablull minnanas’ nya yang baik? Tentu bukan sekedar basa basi, tetap secara tulus hati.
Ritual baik sekedar perbuatan munafik jika tidak dibarengi dengan pikiran, ucapan, dan perbuatan yang selaras dengan sifat ketuhanan. Tidak perlu berteriak dengan keras: Tuhan Maha Besar untuk membuktikan keberagamaan kita. Beragama adalah melakoni sifat kelahian, bukan sekedar ritual yang hanya berguna untuk menipu orang lain.
Negeri ini tidak banyak penjahat, yang banyak adalah manusia munafik.
Tidak ada keterkaitan antara ketaatan beragama atau segala atribut luaran dan korupsi.
Korupsi tidak berkaitan dengan materi, tetapi dengan cara melakoni kehidupan dengan dasar esensi keagamaan, sifat ketuhanan….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H