Pertanyaan ini terlontar dari seseorang yang sudah mencari kedamaian di seluruh pelosok negeri. Ketika tiba di suatu tempat yang sepi, ia merasakan kedamaian dalam diri. Tetapi tidak lama. Setelah beberapa saat, ia pun merasa tidak damai lagi. Ia pindah ke tempat lain yang katanya hening dan damai. Itupun hanya sesaat.
Selama ini kita terpengaruh kata orang. Kata orang tempat ini damai, dan kita pun pergi ke sana. Kata orang tempat lain sepi dan bisa damai. Kita pun pergi ke tempat yang direkomendasikan, namun kembali hanya sementara. Satu minggu terasa damai, minggu berikutnya rasa damai pun hilang. Orang tersebut bernama Hola.
Ia seorang yang haus rasa damai. Ia sudah pergi ke tempat suci, tempat ibadah, dan tempat sepi lainnya. Tetap saja tidak bisa merasakan kedamaian diri. Akhirnya, ia minta nasehat pada Mulla. Di mana rasa damai itu, wahai Mulla teman sejatiku? Holla memiliki satu buntelan yang berisi pakaiannya. Ia mengikuti nasehat temannya. Sumbangkan semua hartamu, maka kau akan menemukan kedamaian dalam diri. Ternyata ia tidak menemukan rasa damai tersebut.
Okey, jawab si Mulla. Hayuu ikut aku......
Dan mereka pun pergi berjalan beriringan. Ketika berjalan beriringan, tanpa disangka Mulla mengambil buntelan miliki Holla, dan dibawa lari. Holla pun panik, dan mengejar pontang - panting. Oleh Mulla, buntelan tersebut diletakkan ke tanah. Lalu, ia pun bersembunyi di balik pohon mengamati kedatangan Holla.
Alangkah lega hari Holla ketika menemukan buntelannya kembali. Saat ia memeluk buntelannya, Mulla datang menghampiri, dan bertanya: 'Apa yang kau rasakan Holla ketika kau menemukan kembali buntelanmu?'
Holla menjawab: 'Aku merasakan kelegaan dan kedamaian hati'.
Mulla pun menjelaskan, sesungguhnya kedamaian diri ada dalam diri setiap orang. Yang diperlukan sangat sederhana, menyadari adanya kedamaian dalam diri. Segala sesuatu yang di luar diri hanyalah ilusi.
Banyak orang menjual tempat yang damai. Tetapi jika rasa damai itu tidak ditemukan dalam dirinya, kedamaian akibat pemicu dari luar diri hanya bersifat sementara. Kita telah dihipnotis massal bahwa kedamaian bisa diperoleh di luar diri.
Sarana luar hanya pemicu pertama. Selanjutnya diri kita sendiri yang harus menyadarinya. Tanpa kesadaran diri, tidak mungkin kedamaian diri diperoleh.
Saat mencari kedamaian diri, kita hidup di masa akan datang. Ia cemas mencari sesuatu. Ia hidup di masa depan. Ketika hatinya kecewa, ia menyesali peristiwa masa lalu. Ia hidup di masa lalu.
Peristiwa yang melukai hatinya sudah terjadi di masa lalu. Mengapa ia tetap menyerahkan pikiran di masa lalu? Sementara badannya sudah berada di masa kini. Terjadi ketidak sinkronan antara pikiran dan badan. Inilah yang menjadikan ia menderita. Ini juga yang membuat orang terganggu kesehatannya.
Hanya seseorang yang hidup di masa kini yang bahagia dan damai. Ia menjadi saksi masa lalu dan tidak memikirkan keadaan esok. Saat pikiran berada di masa kini, ia bisa mensyukuri segala sesuatu yang telah diberikan Tuhan pada dirinya. Sinkronisasi antar badan dan pikiran terjadi. Ia damai...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H