Mohon tunggu...
Marhento Wintolo
Marhento Wintolo Mohon Tunggu... Dosen - Praktisi Ayur Hyipnoterapi dan Ananda Divya Ausadh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Praktisi Ayur Hypnotherapy dan Neo Zen Reiki. Menulis adalah upaya untuk mengingatkan diri sendiri. Bila ada yang merasakan manfaatnya, itupun karena dirinya sendiri.....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perilaku Ojek Biasa Mencerminkan Diri Kita Secara Umum

28 Juli 2015   09:26 Diperbarui: 28 Juli 2015   10:01 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Banyak orang mulai jatuh cinta dengan pola transportasi Go Jek yang dirasakan bermanfaat bagi warga yang jenuh menghadapi kemacetan yang semakin parah terjadi di kampung besar yang bernama Jakarta. Ya, Jakarta bukanlah kota metropolitan, sekedar kampung besar yang diisi oleh yang namanya mall dan kantor yang manusaianya belum siap menjadi penghuni kota.

Kebanyakan mentalitasnya masih kualitas primitif yang masih belum bisa dikatakan beradab. Baik yang di lapisan atas maupun di bawah. Cara berpikir yang masih menggunakan pola semaunya sendiri. Cara pikir SMS, senang melihat orang lain susah. Tidak juga mengherankan, karenapada umumnya pendatang yang nhadir di Jakarta silau oleh mudahnya mengkais rejeki lebih mudah di kota besar daripada tempat asalnya.

Kemacetan yang begitu tinggi menciptakan stress pada hampir setiap warga yang masih beraktivitas kerja, mendodrong seseorang yang cerdas menciptakan peluang bisnis sekaligus kenyamanan bagi pengguna, inilah yang disebut Go Jek yang sistem kerjanya berbasis aplikasi. Si manajemen aplikasi menikmati keuntungan, para driver Go Jek menikmati hasil yang baik, para pengguna pun merasakan kenyamanan yang beda dengan penggunaan ojek biasa.

Sayangnya, penghasilan Go Jek dan semakin banyaknya para warga lebih percaya menggunakan jasa transportasi yang siap menembus kemacetan yang semakin parah telah membuat para ojek biasa irihati. Inilah penyakit kita semua, tidak senang melihat orang lain senang. 

Kemungkinan besar para ojek biasa ini lebih suka bermalas-malasan dengan hanya menunggu sambil tidur-tiduran harapkan datang penumpang. Kemudian, yang parah lagi, kebanyakan dari mereka sering menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Dengan sistem sedikit menekan, karena tahu si pengguna jasa butuh, mereka menetapkan tarif tinggi. Merasa dibutuhkan, para ojek ini menekan. Jelas hal ini tidak disukai oleh si pengguna jasa. Mereka dengan terpaksa menggunkan ojek sambil ngomel. Apakah ini berkah bagi si tukan ojek? Jelas tidak. Si pengojek menggunakan pola pemaksaan. Belum lagi dari segi etika dan pelayanan.

Berbeda dengan Go Jek. Mereka menjalani pendidikan terlebih dahulu sebelum menjadi pengemudi Go Jek. Manajemen Go Jek sadar bahwa pelayanan pada para pelanggan lebih utama. Kenyamanan dan keamanan pengguna jasa menjadi basis pelayanan. Oleh karenanya, banyak masyarakat sekarang semakin cinta dalam menggunakan Go Jek. Selain pelayanan, juga harganya sudah ditentukan sehingga si pengguna jasa tidak perlu lagi bersitegang tentang ongkos. Semuanya berjalan sesuai kesepakatan.

Permasalahan antara ojek biasa dan Go Jek disebabkan jenjang pendapatan yang semakin tinggi antara ke duanya. Tidak mengherankan, karena banyak orang semakin sukan menggunakan jasa yang lebih ramah dan lebih dapat dipercaya. 

Apakah seperti ini pola pikir kebanyakan dari kita?

Tidak mau hidup atau mencari duit dengan lebih sopan?

Bukan kah tidak beda dengan para penjahat yang berkerah?

Mau cari duit dengan mudah tanpa kerja keras,

Saya ingat ucapan seoeang anggota DPR yang berkata bahwa korupsi adalah cara baik untuk uang beredar lebih cepat. Apakah ini ada keterkaitan dengan penyerapan anggaran yang rendah sebagaimana yang terjadi saat ini?

Karena merasa tidak mendapatkan bagian dari uang yang dikelola, para pengelola anggaran ogah-ogahan merealisasikan proyek dengan lebih cepat sehingga penyerapan anggaran juga cepat terjadi. Kalau dahulu, karena dengan cepatnya pencairan dana juga cepat para pengelola anggaran dapat duit dari para kontraktor, maka cepat juga merealisasikan kegiatan.

Walaupun jika dipandang dari segi penghasilan halal, yang diperoleh sekarang lebih baik. Namun, yang haram lebih banyak dan menarik hati bagi pemilik peserkahan dunia. Hal ini tercermin kebijakan dari Ahok. Berikan penghasilan tinggi bagi yang berprestasi, dan berikan hukuman bagi yang merugikan rakyat.

Bukan kah hal ini juga sama dengan para driver Go Jek, karena jasa pelayanan yang baik, maka penghasilan juga tinggi.

Sedangkan mentalitas maling sebagaimana para pengelola anggaran sebelum gubernur Ahok, lebih memntingkan cepatnya serapan anggaran, walaupun banyak untuk pribadi. Dengan sistem menekan kontarktor. Sama dengan ojek biasa, menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Sistem yang sama.

Hanya bisa berdoa agar ola pikir yang hanya mementingkan diri sendiri mengalami transformasi ke arah lebih baik....

Indonesiaku tercinta..... 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun