Mohon tunggu...
Marhento Wintolo
Marhento Wintolo Mohon Tunggu... Dosen - Praktisi Ayur Hyipnoterapi dan Ananda Divya Ausadh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Praktisi Ayur Hypnotherapy dan Neo Zen Reiki. Menulis adalah upaya untuk mengingatkan diri sendiri. Bila ada yang merasakan manfaatnya, itupun karena dirinya sendiri.....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Duka-Cita; Suka-Cita

11 Juni 2015   08:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:07 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah kita memperhatikan akan akhir dari kata: 'Suka' dan 'Duka'?

Dapat dipastikan sedikit sekali...

Semua karena kita kurang memperhatikan sesuatu yang tampaknya sepele, tetapi sesungguhnya menjadi sarana pembelajaran. Saya juga terispirasi oleh buku ini. Buku yang dituliskan oleh seorang Svami. Svami bermakna seseorang yang telah menguasai. Bukan menguasai orang lain. Menguaai diri sendiri jauh lebih sulit daripada menguasai orang lain. Menguasai orang lain dengan kekuatan fisik jauh lebih meudah daripada menguasai diri sendiri. 

Dalam buku ini tersebut dituliskan bahwa dalam diri setiap orang memiliki Citta. Citta adalah bibit pikiran. Bibit pikiran ini terbawa dari kehidupan masa lalu. Bibit tetap sebagai bibit jika tidak ada pemicu dari luar. Ia tidak membahayakan orang tersebut selama tetap sebagai bibit. Yang menjadikan seseorang menderita adalah ketika bibit tumbuh berkecambah dan semakin membesar. Seseorang akan menjadi sangat menderita bila bibit bertambah besar dan menjadi pohon yang sangat sukar ditebang.

Dia yang sudah menguasai dirinya, svami, memahami akan evolusi ini, dan mengetahui dengan tepat bagaimana menjaga agar bibit pikiran tetap sebagai bibit agar tidak tumbuh menjadikan pohon penderitaan.

Perhatikan judul artikel:

Duka- Cita...... 

Suka - Cita....

Kata terakhir adalah kata yang sama. Artinya bahwa baik 'Duka' maupun 'Suka' sesungguhnya bibit pikiran. Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa bibit ini merupakan sesuatu yang imajiner. Ilusi, alias tidak nyata. Namun, jangan lah dipandang enteng atau remeh. Bibit pikiran 'Duka' ataupun 'Suka" jika bertumbuhkembang karena diberikan siraman dan pupuk akan tumbuh besar dan mengganggu kehidupan secara keseluruhan. Yang parah lagi, bisa mematikan potensi diri.

Potensi diri setiap insan yang lahir di bumi, satu dan sama, Dalam upaya perjalanan bertransformasi ke wujud aslinya, Sang Jiwa Agung. Banyak pengembaraan dalam berbagai bentuk di dunia. Semua dilakukan oleh Nya. Dan ketika menjadi manusia merupakan wujud akhir dari pengembaraan Nya. Sebagai wujud manusia, jiwa individu berupaya bertransformasi ke bentuk aslinya, Sang Jiwa Agung atau Paramatma.

Bibit pikiran 'Suka' dan 'Duka' ada dalam setiap diri manusia. Semua peristiwa atau pengalaman berujung pada pembesaran bibit 'Duka' atau 'Suka'. Pengalaman seseorang ditinggal oleh pasangannya tidak selalu berujung duka. Bisa sebalik nya. tergantung pengalaman selama hidup dengan pasangannya. Jika selama hidup si suami mengelami tekanan dari istrinya atau ada hal liannya, maka saat ditinggal istrinya membuat dirinya ber-suka cita. Bibit pikiran suka berkembang.

Apa pun pengalaman kehidupan tidak ter-elakkan pasti ber-ujung terbangkitanya Citta. Jika dalam kehidupan ini kita memahami akan hal ini, baik 'Duka' maupun 'Suka' adalah ilusi, kita harus berupaya agar bibit pikiran ini tidak bertumbuhkembang, maka kebahagiaan abadi pun menjadi keniscayaan.

Inilah tujuan Yoga sebagaimana dituliskan oleh Patanjali dan di kodefikasi oleh Anand Krishna. Latihan yoga pun tidak sesulit sebagaimana yang tergambarkan di luar. Sesungguhnya mereka yang jualan Yoga untuk kesehatan belum memahami makan atau arti kata Citta.........................  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun