“Betul karena kamu yang pintar bikin janjian di Matos yang dekat dengan Kampus,” kataku singkat. Tria kembali tertawa riang. “Iya dong gini-gini kan aku masih Arek Malang.”
“Aku sebenarnya ingin mengajakmu ke sekolah kita dulu di SMA Tugu.”
“Boleh juga tapi nanti dulu aku belum bisa, sore ini ketempatan arisan Ibu-ibu di Perumahan,” kata Tria.
Ketika aku mengutarakan sudah berapa tahun tidak bertemu dengannya. Nampak raut wajah wanita ini begitu muram. Mungkin teringat saat saat perpisahan itu. Perpisahan yang sangat menyakitkan hampir 20 tahun yang lalu.
Menjalin hubungan cinta sejak SMA sampai di bangku kuliah adalah waktu yang sangat berarti bagiku. Cinta Tria sampai sekarang masih belum tergantikan wanita manapun.
Saat-saat perpisahan itupun menjadi catatan paling menyedihkan, baik bagiku maupun Tria.
“Sejak kita wisuda kita sudah tidak ketemu lagi. Kamu diboyong suamimu ke Malaysia,” kataku dengan suara pelan.
Saat itu Tria menikah dengan seseorang pilihan orang tuanya. Katanya masih kerabat. Lelaki itu bekerja sebagai Dosen di Malaysia. Perjodohan tersebut sudah disepakati sejak mereka masih kecil.
“Sudahlah Hen. Maafkan aku,” kata Tria dengan suara tersendat. Terlihat wajahnya berubah murung.
Terbayang saat itu aku harus berpisah dengannya. Perpisahan yang sangat pedih. Bagaimanapun bagiku, Tria selalu menjadi bayang-bayang hidupku.
Bagaimana tidak. Tria selalu bersama sejak SMA hingga lulus Perguruan Tinggi. Lalu harus berpisah begitu saja hanya karena arogansi orang tuanya dengan perjodohan antar kerabat.