Rumah Duka di Jalan Holis itu masih dikunjungi para pelayat baik dari kerabat dekat maupun para sahabat dari mendiang Erika. Aku sendiri sejak pagi tadi hingga malam ini masih berada di sisi peti mati dimana Erika disemayankan.Â
Ukuran ruang duka cukup besar untuk tempat disemayankannya jenazah. Rumah duka ini khusus bagi pemeluk agama Budha, Kristen, dan Katolik sebagai tempat untuk memberikan penghormatan terakhir.Â
Erika megalami kecelakaan tunggal ketika pulang kuliah sore hari itu, mobil yang dikendarainya lepas kendali karena menghindari penyeberang jalan seorang nenek.Â
Sempat dilarikan ke RS St Boromeus, tetapi nyawanya tidak tertolong dan besoknya sudah diserahkan kepada pihak keluarga. Sejak tadi pagi jenazah Erika disemayankan di Rumah Duka Jalan Holis.Â
Bagiku Erika adalah sosok yang sangat berarti dalam perjalanan cintaku. Walaupun sudah menjadi masa lalu, tetapi mendiang Erika sudah menjadi kenangan yang terpatri dalam hati.Â
"Hen, harusnya sudah sejak awal kita mengetahui perjalanan cinta kita menghadapi tembok terjal dari perbedaan keyakinan. Aku seorang katolik dan kamu seorang muslim yang tidak mungkin bisa disatukan." Â
Aku masih ingat Erika mengucapkan kalimat-kalimat itu saat malam perpisahan kelulusan dari SMA. Sejak itu hubungan dengan Erika hanya sebatas sahabat karena aku juga harus menyadari tembok terjal itu terlalu tebal.Â
Erika gadis yang kukenal sejak SMP saat dirinya cinta monyetku. Ketika di SMA gadis ini adalah cinta sejatiku. Sosok gadis semampai berparas rupawan bermata indah. Senyumnya adalah kedamaian dan kesejukkan bagiku. Tutur katanya ramah menenteramkan.Â
Malam itu adalah kepedihan saat cinta dari dua mahluk Tuhan terpaksa harus dipisahkan hanya karena perbedaan keyakinan.Â
"Hen maafkan aku." Suara Erika sambil tersedu menahan isak. Aku hanya terdiam memandang wanita berwajah anggun ini. Sesekali tanganku dengan halus mengusap air mata yang jatuh di pipinya.Â
"Rika sudahlah. Lebih baik kita sekarang menyadari semuanya. Kita masih bisa bersahabat." Kataku menghiburnya di tengah isak tangisnya.Â
Aku mencoba memeluknya, malah tangisnya semakin menjadi-jadi. Tetes-tetes air matanya membasahi lenganku. Aku tatap wajahnya yang bersimbah air mata.Â
"Rika keluargamu jauh lebih penting. Kamu harus bisa menghadapi ujian ini." Hiburku. Erika masih menangis dalam pelukanku. Bahunya sampai berguncang karena isak tangisnya.Â
Menghadapi situasi ini, aku harus sebisa mungkin menahan kesedihan yang sama seperti yang Erika rasakan. Malam itu Purnamapun yang seharusnya bersinar penuh, terhalang gumpalan awan hitam sehingga cahayanya hilang dalam kegelapan.Â
Kisah cinta yang tragis karena harus berakhir terhalang perbedaan keyakinan. Aku baru menyadari hal ini ketika masih SMA.Â
"Rika, bagaimana dengan pendapat Ayah dan Ibu?" Aku bertanya tentang sebuah hubungan yang berbeda keyakinan.Â
"Ayah dan Ibu kan selalu baik sama kamu."Â
"Bukan itu. Maksudku apakah Ayah dan Ibu merestui kita walaupun ada perbedaan keyakinan?" Â Mendengar pertanyaan ini Erika hanya terdiam sambil memandangku dengan sorot mata tajam.Â
Selama ini kedua orang tua Erika selalu menyambutku dengan baik karena mereka adalah penganut Katolik yang taat menjaga hubungan baik. Ayahnya, Pak Suseno, sangat ramah padaku dalam setiap perbincangan.Â
Namun akhirnya perpisahan itu tetap terjadi antara aku dan Erika pada saat dua insan ini beranjak dewasa. Aku tetap kagum kepada Pak Suseno, Ayah Erika yang sangat bijak memberitahukan kendala perbedaan keyakinan antara aku dan putrinya
Untuk melupakan kesedihan ini, pada awalnya aku ingin memutuskan pindah kuliah di Kampus lain saja. Sebab selama masih satu Kampus dengan Erika, aku tidak mungkin bisa move on.Â
Namun aku urungkan niat itu ketika aku melihat Erika ternyata berhasil menahanku agar tidak pindah kampus. Mungkin ada baiknya juga seorang Hendarno ditantang move on dengan kehadiran Erika Amelia Mawardini di hadapannya.Â
Malam semakin larut. Di Rumah Duka itu para pelayat sudah semakin sepi. Sementara aku masih setia mendampingi Erika yang sudah ditidurkan di sebuah Peti Mati.Â
Rencana keluarganya akan memakamkan mendiang Erika besok siang. Maka malam ini adalah terakhir bagiku bisa bercengkerama dengan Erika sehingga waktu yang berharga ini tidak boleh disia-siakan.Â
Walaupun rasa lelah dan kantuk sudah mendera seluruh tubuh ini, tetapi aku masih berada di samping peti mati itu,kendati sempat tertidur sejenak.Â
Rumah duka itu semakin malam semakin sepi. Aku baru saja membuka kedua mataku tetiba Erika berada di depanku tersenyum sambil merentangkan kedua tangannya ingin menyambutku.Â
Aku sangat terharu dengan ajakannya. Aku sangat kagum dengan kecantikannya. Wajahnya yang rupawan itu bercahaya. Memandangku dengan kedua matanya yang indah dan senyumnya yang menawan.Â
Aku baru ingat kalau Erika sudah pergi selamanya. Aku kini berada di tempat yang sangat asing, terperangkap dan tersesat kehilangan jalan pulang. Ketika aku tersadar sepenuhnya, maka semuanya sudah terlambat. Â
@hensa17.Â
Penulis adalah Pensiunan yang menjadi Kompasianer sebagai kontributor artikel-artikel untuk rubrik olah raga dan fiksiana.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H